Sabtu, 13 Februari 2010

Kabupaten Nunukan



Kabupaten Nunukan adalah salah satu Kabupaten di provinsi Kalimantan Timur, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di kota Nunukan. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 14.493 km² dan berpenduduk sebanyak 109.527 jiwa (2004). Motto Kabupaten Nunukan adalah "Penekindidebaya" yang artinya "Membangun Daerah" yang berasal dari bahasa suku Tidung. Nunukan juga adalah nama sebuah kecamatan di Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur, Indonesia.

Pada tahun 2003 terjadi tragedi kemanusiaan besar-besaran di Nunukan ketika para pekerja gelap asal Indonesia yang bekerja di Malaysia dideportasi kembali ke Indonesia lewat Nunukan.

Pelabuhan Nunukan merupakan pelabuhan lintas dengan kota Tawau, Malaysia. Bagi penduduk kota Nunukan yang hendak pergi ke Tawau diperlkan dokumen PLB (Pas Lintas Batas). Setiap hari rata-rata sekitar 8 unit kapal cepat dengan kapasitas kurang lebih 100 orang mondar-mandir antar Nunukan dengan Tawau Malaysia.

Di Kota Tawau sendiri banyak sekali orang Indonesia (baik WNI/ atau warga Malaysia) yang berasal dari Indonesia terutama dari suku bangsa Bugis Bone.


Sejarah terbentuknya kabupaten

Kabupaten Nunukan merupakan wilayah pemekaran dari Kabupaten Bulungan, yang terbentuk berdasarkan pertimbangan luas wilyah, peningkatan pembangunan, dan peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Pemekaran Kabupaten bulungan ini di pelopori oleh RA Besing yang pada saat itu menjabat sebagai Bupati Bulungan.

Pada tahun 1999, pemerintah pusat memberlakukan otonomi daerah dengan didasari Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Nah, dgn dasar inilah dilakukan pemekaran pada Kabupaten Bulungan menjadi 2 kabupaten baru lainnya yaitu Kabupaten Nunukan dan kabupaten Malinau.

Pemekaran Kabupaten ini secara hukum diatur dalam UU Nomor 47 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Nunukan, Kabupaten Malinau, Kabupaten Kutai Timur, Kabupaten Kutai Barat, dan Kota Bontang pada tanggal 4 Oktober 1999. Dan dengan dasar UU Nomor 47 tahun 1999 tersebut Nunukan Resmi menjadi Kabupaten dengan dibantu 5 wilayah administratif yakni Kecamatan Lumbis, Sembakung, Nunukan, Sebatik dan Krayan.


Pemekaran kabupaten

Pada tanggal 17 Juli 2007, dalam Sidang Paripurna DPR RI telah disetujui pembentukan kabupaten baru yaitu Kabupaten Tana Tidung, yang merupakan pemekaran dari wilayah Nunukan dan Bulungan. Dari Nunukan, kecamatan Sembakung dipindahkan menjadi wilayah kabupaten baru tersebut, sedangkan dari Bulungan, dipindahkan tiga kecamatan, yaitu Sesayap, Sesayap Hilir dan Tanah Lia.


Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Nunukan

Sumber Gambar :
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjJJRZZSNci65yN0-YD6DEIQqJkilH4whr-wXjj0RSjdvuy24-1FcCxbVoU-E0pHFW_HlReubvYpQYytpVQVLkb6o0Xj2XKeeMEdOL97nYJn9GWXxluIIHfEN-o1nlv288AYOkQ7hM5mY8/s1600/Abangboyc+Pelabuhan+Nunukan.jpg

http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Nunukan

Kabupaten Tana Tidung, Kabupaten Termuda di Kaltim

Kabupaten Tana Tidung adalah salah satu Kabupaten di provinsi Kalimantan Timur, Indonesia yang baru disetujui pembentukannya pada Sidang Paripurna DPR RI pada tanggal 17 Juli 2007, dimana disetujui pembentukan kabupaten/kota baru sebanyak 14 di seluruh Indonesia. Kabupaten ini merupakan pemekaran dari 3 wilayah kecamatan di Kabupaten Bulungan yakni Kecamatan Sesayap, Sesayap Hilir dan Tanah Lia.

Mencuatnya nama sebuah kabupaten baru yaitu Kabupaten Tana Tidung, adalah hasil dari sebuah deklarasi yang dilakukan sejumlah tokoh masyarakat dari sejumlah kecamatan di Kabupaten Nunukan dan Kabupaten Bulungan.

Deklarasi yang sekaligus pembentukan presidium untuk memperjuangkan KTT, waktu itu dilaksanakan pada tanggal 28 November 2002 lalu, di Kayan Restoran Hotel Tarakan Plaza. Acara yang dihadiri sekitar 148 tokoh dari berbagai etnis masyarakat Kalimantan Utara itu, berlangsung dengan nuansa budaya yang sangat kental. Mulai dari pantun dalam bahasa Tidung, hingga tarian dan pakaian adat, mewarnai malam pendeklarasian KTT itu.

Tak ketinggalan, sejumlah pejabat pemerintahan dan muspida se Utara turut hadir dalam acara yang tema utamanya adalah mendeklarasikan keinginan masyarakat untuk membentuk sebuah kabupaten baru yang dinamai Kabupaten Tana Tidung.
Dengan hadirnya Kabupaten Tana Tidung ini diharapkan, pembentukan Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) segera diwujudkan oleh Provinsi Kaltim sebagai provinsi induk.

Suku Tidung

Dari berbagai sumber dan literature, Suku Tidung merupakan suku yang tanah asalnya berada di bagian utara Kalimantan Timur. Suku ini juga merupakan anak negeri di Sabah, jadi merupakan suku bangsa yang terdapat di Indonesia maupun Malaysia (negeri Sabah). Suku Tidung semula memiliki kerajaan yang disebut Kerajaan Tidung. Tetapi akhirnya punah karena adanya politik adu domba oleh pihak Belanda.

Bahasa Tidung

Bahasa Tidung dialek Tarakan merupakan bahasa Tidung yang pertengahan karena dipahami oleh semua warga suku Tidung. Beberapa kata bahasa Tidung masih memiliki kesamaan dengan bahasa Kalimantan lainnya. Kemungkinan suku Tidung masih berkerabat dengan suku Dayak rumpun Murut (suku-suku Dayak yang ada di Sabah). Karena suku Tidung beragama Islam dan mengembangkan kerajaan Islam sehingga tidak dianggap sebagai suku Dayak, tetapi dikategorikan suku yang berbudaya Melayu (hukum adat Melayu) seperti suku Banjar, suku Kutai, dan suku Pasir.
Bahasa Tidung termasuk dalam “Kelompok Bahasa Tidung” salah satu bagian dari Kelompok Bahasa Dayak Murut. Kelompok Bahasa Tidung terdiri : Bahasa Tidung (tid), Bahasa Bulungan (blj), Bahasa Kalabakan (kve), Bahasa Murut Sembakung (sbr), Bahasa Murut Serudung (srk)

Persamaan kosakata bahasa Tidung dengan bahasa-bahasa Kalimantan lainnya, misalnya :
matonandow dalam bahasa Tidung sama dengan matanandau ( bahasa Ngaju) artinya matahari.
Kata Bubuan dalam bahasa Tidung sama dengan bubuhan (bahasa Banjar) artinya keluarga, kerabat. Taka dalam bahasa Tidung sama dengan takam (bahasa Maanyan) atau taka (bahasa Pasir) artinya Kita.

Kepala=Utok
Rambut=Abuk
Telinga=Telingo
Hidung=Adung
Pipi =Malo
Mulut =Kabang
Leher =Liog
Perut =Tinay
Tangan =Tendulu
Kaki =Tanog
kuku =Sandop
Paha =Apa
Lutut =Atut
Pinggang=Awak
Dada =Kubab
Bapak =Yama
Ibu =Ina
Nenek =Yadu
Kakek =Yaki
Paman =Yujang
Tante =Yacil
Adik =Yadi
Kakak =Yaka
Keponakan =Yakon
Cucu =Ingkupu
Saudara =Pensulod
Nenek Moyang =Yadu yaki
Ipar =Yangu
Menantu =Anak Iwan
Mertua =Iwan

Kabupaten Tana Tidung,
Ibu kota : Tideng Pale
Luas Wilayah :4.828 km²
Jumlah Penduduk : 28.000 (2007) dengan kepadatan : 5,79 jiwa/km²
Pembagian administratif : 4 Kecamatan.
Terbentuk tanggal : 17 Juli 2007
Pj. Bupati Ir. Zaini Anwar, MM
Suku bangsa Tidung, Berusu

Kesultanan Sulu

Dalam sejarah kesultanan Sulu dikatakan, Sultan Sulu yang bernama Sultan Salahuddin-Karamat atau Pangiran Bakhtiar telah berkawin dengan seorang gadis Tionghoa yang berasal dari daerah Tirun (Tidung). Dan juga karena ingin mengamankan wilayah North-Borneo (Kini Sabah) selepas mendapat wilayah tersebut dari Sultan Brunei, seorang putera Sultan Salahuddin-Karamat yaitu Sultan Badaruddin-I juga telah memperisterikan seorang Puteri Tirun atau Tidung (isteri kedua) yang merupakan anak kepada pemerintah awal di wilayah Tidung. (Isteri pertama Sultan Badaruddin-I, dikatakan adalah gadis dari Soppeng, Sulawesi Selatan. Maka lahirlah Datu Lagasan yang kemudianya menjadi Sultan Sulu bergelar, Sultan Alimuddin-I ibni Sultan Badaruddin-I). Dari zuriat Sultan Alimuddin-I inilah dikatakan datangnya Keluarga Kiram dan Shakiraullah di Sulu.

Maka dari darah keturunan dari Puteri Tidung ini lah seorang putera bernama Datu Bantilan dan seorang puteri bernama Dayang Meria. Datu Bantilan kemudiannya menaiki takhta Kesultanan Sulu (menggantikan abangnya Sultan Alimuddin-I) pada tahun sekitar 1748, bergelar Sultan Bantilan Muizzuddin. Adindanya Dayang Meria dikatakan kawin dengan seorang pedagang Tionghoa, dan kemudiannya melahirkan Datu Teteng atau Datu Tating. Dan dari zuriat Sultan Bantilan Muizzuddin inilah datangnya Keluarga Maharajah Adinda, yang kini merupakan “Pewaris Sebenar” kepada Kesultanan Sulu mengikut Sistem Protokol Kesultanan yang dipanggil “Tartib Sulu”.

Dikatakan juga pewaris sebenar itu bergelar, Duli Yang Maha Mulia (DYMM) Sultan Aliuddin Haddis Pabila. Dan juga dinyatakan bahawa ‘Putera Mahkota’ kesultanan Sulu kini adalah putera bongsu kepada DYMM Sultan Aliuddin yang bernama Duli Yang Teramat Mulia (DYTM) Datu Ali Aman atau digelar juga sebagai “Raja Bongsu-II” (*Gelaran ini mungkin mengambil sempena nama moyang mereka yang bernama Raja Bongsu atau Pengiran Shahbandar Maharajalela, yang merupakan putera-bongsu kepada Sultan Muhammad Hassan dari Brunei. Dikatakan Raja Bongsu ini telah dihantar ke Sulu menjadi Sultan Sulu menggantikan pamannya Sultan Batarasah Tengah Ibnu Sultan Buddiman Ul-Halim yang tiada putera. Ibu Raja Bongsu ini adalah puteri kepada Sultan Pangiran Buddiman Ul-Halim yang berkahwin dengan Sultan Muhammad Hassan).(vb/01/berbagai sumber)


Sumber :
http://www.vivaborneo.com/kabupaten-tana-tidung-kabupaten-termuda-di-kaltim.htm/comment-page-1
6 Desember 2008

Profil Kabupaten Penajam Paser Utara

Kabupaten Penajam Paser Utara merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Kalimantan Timur, secara geografis terletak antara 00o48 29 - 01o36 37 LS dan antara 116o19 30 - 116o56 35 BT, berbatasan dengan Kabupaten Kutai Negara di utara, Kota Balikpapan dan Selat Makasar di timur, Kabupaten Pasir dan Selat Makasar di selatan, dan Kabupaten Pasir dan Kaupaten Kutai Barat di barat. Luas wilayah daerah ini 3.333,06 Km2.

Secara administratif, daerah ini terbagi menjadi empat kecamatan sembilan Desa. Benuo Taka yang artinya daerah kita atau kampung halaman kita adalah kata semboyan daerah Kabupaten Penajam Paser Utara yang bermakna bahwa Kabupaten Penajam Paser Utara terdiri dari berbagai suku, ras, agama dan budaya namun tetap merupakan satu kesatuan ikatan kekeluargaan.

Kabupaten ini memiliki keunggulan karena letak geografisnya. Posisinya dalam jalur perlintasan yang menghubungkan Kaltim dengan Kalsel dan Kalteng. Kegiatan perhubungan darat dan air meningkat oleh ramainya mobilitas manusia dan barang dengan lapangan usaha utama penduduknya adalah perdagangan. Perdagangan ini diperkuat oleh kegiatan pertanian dan diuntungkan karena menjadi daerah transit dengan keberadaan pelabuhan penyeberangan di Penajam.

Di sektor pertanian, daerah ini dikenal sebagai salah satu lumbung beras di Kalimantan Timur, serta penghasil sayur-sayuran dan buah-buahan karena tanah disini subur dan cocok untuk tanaman pangan karena berada pada jalur Pegunungan Meratus. Pada sektor perkebunan, juga memberi andil dalam penyediaan lapangan kerja bagi penduduk. Setidaknya, lima perusahaan swasta bergerak dalam penanaman kelapa sawit. Di luar lahan yang dikelola perusahaan swasta, juga ada perkebunan rakyat dan kebun baru yang akan dibuka menggunakan pola kemitraan rakyat dengan investor. Untuk kegiatan industri di daerah ini, beberapa perusahaan besar beroperasi di sini, antara lain perusahaan kehutanan, seperti pabrik kayu lapis dan pabrik bahan baku kertas.

Dari struktur perekonomian, rantai ekonomi di kabupaten ini terpetakan pada dua pola. Pertama, hasil bumi yang tidak memerlukan pengolahan langsung menjadi komoditas perdagangan. Kedua, hasil-hasil pertanian, seperti kelapa sawit dan kayu, yang harus melewati proses pengolahan di pabrik baru dilepas ke pasaran. Daerah ini juga memiliki berbagai sarana dan prasarana penunjang diantaranya jalan darat, serta dukungan sarana pembangkit tenaga listrik, air brsih, gas dan jaringan telekomunikasi.


Sumber Data:
Kalimantan Timur Dalam Angka 2007
(01-8-2007)
BPS Provinsi Kalimantan Timur
Jl. Kemakmuran No. 4. Samarinda 75117
Telp (0541) 743372
Fax (0541) 201121


Sumber :
http://regionalinvestment.com/sipid/id/displayprofil.php?ia=6409

Sekilas Tentang Kabupaten Paser


Kabupaten Paser merupakan wilayah Propinsi Kalimantan Timur yang terletak paling selatan, tepatnya pada posisi 00 45'18,37" - 20 27'20,82" LS dan 1150 36'14,5" -1660 57'35,03" BT. Kabupaten Paser terletak pada ketinggian yang berkisar antara 0 - 500 m di atas permukaan laut. Di sebelah utara, Kabupaten Paser berbatasan dengan Kabupaten Kutai Barat, di sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Penajam Paser Utara dan Selat Makasar, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Kota Baru, Propinsi Kalimantan Selatan, serta di sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Tabalong, Propinsi Kalimantan Selatan.

Luas Wilayah Kabupaten Paser saat ini adalah 11.603,94 km2, terdiri dari 10 Kecamatan dengan 106 buah Desa/Kelurahan dan empat buah UPT (Unit Pemukiman Transmigrasi), serta dengan jumlah penduduk pada tahun 2003 mencapai 172.608 jiwa, atau memiliki kepadatan penduduk 15 jiwa/Km2. Kecamatan dengan wilayah terluas di Kabupaten Paser adalah Kecamatan Long Kali, dengan luas wilayah 2.385,39 km2, termasuk di dalamnya luas daerah lautan yang mencapai 20,50 persen dari luas wilayah Kabupaten Paser secara keseluruhan, sedangkan kecamatan yang luas wilayahnya terkecil adalah Kecamatan Tanah Grogot, yang mencapai 33,58 Km2 atau 2,89 persen.

Dari segi konstelasi regional, Kabupaten Paser berada di sebelah Selatan Propinsi Kalimantan Timur. Posisinya dilintasi oleh jalan arteri primer (jalan negara/nasional) yang menghubungkan Propinsi Kalimantan Timur dengan Kalimantan Selatan. Pada bagian timur Kabupaten Paser melintang selat Makassar, yang dimasa yang akan datang memiliki prospek dan fungsi penting sebagai jalur alternatif pelayaran internasional. Pelabuhan laut utama di Kabupaten Paser, yaitu Pelabuhan Teluk Adang terletak 12 Km ke arah utara ibukota Kabupaten (Kota Tanah Grogot), sedangkan Kota Tanah Grogot berjarak lebih kurang 145 Km dari Kota Balikpapan, atau 260 Km dari Ibukota Propinsi Kalimantan Timur (Kota Samarinda).

Kabupaten paser awalnya adalah Kabupaten Pasir sebagai daerah otonomi Kalimantan Timur yang pengesahannya berdasarkan UU Nomor 27 Tahun 1959 tentang Penetapan UU Darurat Nomor 3 Tahun 1953 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Kalimantan, dengan sebutan Daerah Swatantra Tingkat II Pasir. Sebelum UU 27 Tahun 1959 ditetapkan, daerah Pasir berbentuk kewedanaan yang berada dalam wilayah Kabupaten Kotabaru Kalimantan Selatan berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri yang dikeluarkan di Yogyakarta pada tanggal 29 Juni 1959 Nomor C-17/15/3 yang bersifat sementara, dan Penetapan Gubernur Kalimantan Timur tanggal 14 Agustus 1950 Nomor 186/OPB/92/14.

Lahirnya UU Nomor 27 tahun 1959 tanggal 29 Desember 1959 memberikan momentum yang sangat penting yakni terlepasnya kewedanaan Batu Besar dari wilayah daerah Swatantra Tingkat II Pasir dan dimasukkan ke dalam wilayah Kabupaten Kotabaru Kalimantan Selatan. Pada tanggal 3 Agustus 1961 Daerah Swatantra Tingkat II Pasir dimasukkan ke dalam Wilayah Kal;imantan Timur. Pada tanggal 29 Desember 1961 dilaksanakanlah serah terima oleh Gubernur Kepala Daerah Swatantra Tingkat I Kalimantan Selatan H.Maksid kepada Gubernur Kepala Daerah Swatantra Tingkat I Kalimantan Timur APT. Pranoto di Departemen Dalam Negeri – Jakarta.

Melalui perjuangan Bupati Paser HM.Ridwan Suwidi dan Wakil HM.Hatta Garit Kabupaten Pasir berubah menjadi Kabupaten Paser yang ditandai dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2007.


Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Paser

Pesona Wisata dan Budaya Malinau


Selama ini dunia intenasional hanya mengenal Bali sebagai salah satu tujuan utama pariwisata mereka. Padahal Indonesia tidak hanya Bali, masih banyak tempat-tempat lain yang memilki keindahan alam yang tak kalah cantiknya dengan Bali.

Salah satu derah yang juga tak kalah eksotisnya adalah, Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur. Malinau merupakan kabupaten terbesar di Kalimantan Timur dan berbatasan langsung dengan Serawak, Malaysia.

Untuk memperkenalkan keindahan alam yang ada di Malinau kepada masyarakat luas, Pemerintah daerah kabupaten Malinau, Minggu ( 28/6 )menggelar pesona wisata dan kebudayaan Kabupaten Malinau, di Anjungan Kalimantan Timur, Taman Mini Indonesia Indah.

M. Peter Yadi, PLT Kabag Humas dan Protokol Pemda Kabupaten Malinau, menerangkan, acara tersebut juga sejalan dengan program pemda Kalimantan Timur yang belum lama ini mencanangkan Visit East Borneo.

"Dalam acara ini, akan ditampilkan tari-tarian khas Malinau yang kesemua penarinya didatangkan langsung dari Malinau. Selain itu, ada juga stan yang menjual produk-produk khas Malinau, seperti tas rajutan, keripik buah, sampai madu asli Malinau," terang Peter, saat di temui di Ajungan Kalimantan Timur, TMII, Jakarta, Minggu ( 28/6 ). Pada pagelaran tersebut, hadir juga Bupati Malinau, Martin Bila , dan beberapa Duta Besar dari negara sahabat.

Acara tersebut juga dimaksudkan untuk memperkenalkan berbagai pariwisata alam yang dimiliki oleh kabupaten Malinau, seperti arus liar yang ada di sungai sungai tugu dan sungai Bahaowulu, air terjun Martin Bila, air panas Semolon. "Masyarakat dapat melihat rumah adat asli dari masyarakat Malinau atau biasa di sebut Lamin Adat. Ada juga kuburan batu yang sudah ada beratus-ratus tahun lalu," ujarnya.

Selain itu, kata Peter, karena Malinau satu-satu kabupaten yang memproklamirkan diri sebagai kapubaten konservasi, dengan demikian wisatawan dapat menikmati berbagai kekayaan flora dan fauna yang tidak dimiliki daerah lain. "Ada juga tempat penelitian laut Birai, tempat penelitian flora dan fauan Kain mentarang," terangnya.

Peter menerangkan untuk saat ini, jumlah wisatawan yang datang masih sangat sedikit. "Kebanyakan adalah peneliti asing, sekitar 20 orang pertahun. Sedangkan untuk wisatan domestik lebih sedikit lagi," ujarnya.

Hal tersebut, lanjutnya, disebabkan membutuhkan waktu yang lama untuk sampai di Malinau, terlebih jika melalui jalur darat. "Kalau dari bandara Internasional di Balik Papan, kita harus transit dulu di Tarakan baru melanjutkan dengan pesawat kecil. Kalau melalui jalur darat, dari ibu kota propinsi butuh waktu 24 jam. Dan itu juga harus menggunakan jalur off road," lontar dia.

Dengan digelarnya acara ini, Peter mewakili Pemda Kabupaten Malinau berharap, semakin banyak pengunjung yang datang ke Malinau, ia juga menghimbau agar pemerintah pusat lebih memperhatikan kekayaan yang ada di Malinau. "Malinau mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, jika dieksplorasi lagi akan banyak membawa keuntungan bagi banyak pihak," tandasnya.


Sumber :
http://travel.kompas.com/read/2009/06/28/11445767/pesona.wisata.dan.budaya.malinau
26 Juni 2009
Foto : Rosdianah Dewi

Pariwisata Kutai Timur

Taman Nasional Kutai

Taman Nasional Kutai merupakan salah satu objek andalan Kabupaten Kutai Timur. TNK memiliki potensi kekayaan flora dan fauna, termasuk diantaranya hewan dan tumbuhan langka yang dilindungi, seperti orang utan, bekantan, dan berbagai anggrek hutan. Di TNK ini terdapat berbagai tipe vegetasi utama seperti hutan pantai, hutan mangrove, hutan rawa air tawar, hutan kerangas, dan hutan campuran. Di kawasan ini juga terdapat perwakilan hutan ulin terluas di Indonesia. Dengan potensi kekayaan sumber daya alamnya, TNK menawarkan daya tarik alam baik untuk kegiatan pariwisata alam maupun penelitian dan pendidikan. Untuk sampai ke lokasi Taman Nasional Kutai (TNK) dapat dilakukan dari Samarinda - Bontang melalui jalur darat lebih kurang sekitar 125 km dan meneruskan perjalanan dengan menggunakan perahu motor menuju Teluk Kaba yang memakan waktu lebih kurang 2 jam.
Info Lengkap: http://www.tn-kutai.or.id


PT. Kaltim Prima Coal

PT. KPC merupakan perusahaan pertambangan batubara terbesar di Indonesia yang berada di Sangatta. Selain berfungsi sebagai penambangan batu bara tempat ini juga dapat manjadi daya tarik wisata atau ilmiah yang menawarkan kegiatan penambangan batubara, dengan daya tarik sejarah penemuan batubara, penggalian batubara pertama yang masih tradisional, hingga pendirian pabrik.


Pantai Teluk Lombok dan Teluk Perancis

Pantai Teluk Lombok dan Teluk Perancis terletak tidak jauh dari kota Sangatta yang merupakan ibukota Kabupaten Kutai Timur. Tempat ini dapat dicapai dengan menggunakan jalur darat dari Sangatta sekitar 15 km menyusur pantai timur Kutai Timur. Pemandangan pantai dan laut menjadi daya tarik utama tempat ini, ditambah dengan lokasinya yang tidak terlalu jauh dari kota, diharapkan dapat menjadi tempat berwisata bagi penduduk kota Sangatta.


Gua Kombeng

Gua Kombeng adalah sebuah gua bekas peninggalan kerajaan Kutai Hindu. Didalam gua yang memiliki ruangan yang cukup besar ini terdapat patung-patung batu atau arca-arca Hindu. Untuk mencapai gua ini harus melakukan perjalanan selama kurang lebih 6 jam dari Muara Wahau dengan menggunakan kapal kecil.


Long Segar dan Long Noran

Kedua desa ini bertetangga dan termasuk dalam Kecamatan Muara Wahau. Terletak di tepi Sungai Wahau, untuk mengunjunginya dapat dicapai dengan kapal sungai dari Samarinda ke long Noran atau Long Segar. Mayoritas penduduk desa ini berasal dari suku Apo Kayan. Desa ini kaya akan daya tarik seni budaya dan kerajinan seperti Mandau, patung dan lain-lain. Di desa ini sudah tersedia fasilitas akomodasi berupa lamin (rumah tradisional suku Dayak) untuk para wisatawan.


Pulau Birah-Birahan

Terletak di kecamatan Sangkulirang, pulau ini dapat dicapai dengan menggunakan kapal motor cepat dari Sangatta atau Benua Baru, Sangkulirang. Pulau Birah-birahan selain memiliki keindahan pemandangan laut juga memiliki keindahan alam bawah lautnya, seperti taman laut dengan keanekaragaman karang laut yang indah, dan ikan hias yang beraneka ragam


Gemar Baru

Gemar Baru merupakan desa 'resettlement' bagi masyarakat suku Dayak Kenyah yang terdapat di Kecamatan Muara Ancalong, Kutai Timur. Di desa ini dapat disaksikan Balai Adat suku Dayak Kenyah, upacara-upacara adat, tari-tarian dan kehidupan sehari-hari masyarakat setempat. Desa ini terletak sekitar 88 mil dari Tenggarong dan dapat dicapai dengan menggunakan kapal motor menyusuri Sungai Mahakam kemudian masuk ke Sungai Kedang Kepala.


Tanjung Manis

Seperti di Desa Gemar Baru, di Desa Tanjung Manis juga dapat ditemui sebuah Lamin suku Dayak Kenyah Umaq Tau. Disini dapat disaksikan kehidupan sehari-hari masyarakat suku Dayak Kenyah, upacara-upacara adat, dan tari-tarian dari masyarakat setempat.
Penari Hudoq


Long Bentuk

Berbeda dengan desa Gemar Baru dan Tanjung Manis, di desa Long Bentuk dapat disaksikan kehidupan masyarakat suku Dayak Bahau. Pakaian, ornamen, dan kesenian tradisional suku Dayak Bahau berbeda jauh dengan suku Dayak Kenyah. Salah satu tarian terkenal dari masyarakat suku Dayak Bahau adalah tari Hudoq, yakni tarian yang menggunakan daun pisang atau daun pinang sebagai penutup tubuh penari dan penggunaan topeng kayu yang menyerupai binatang.

Lebih Lengkap Tentang Kutai Timur:
>> http://www.kutaitimur.go.id


Sumber :
http://www.kutaikartanegara.com/wisata/kutaitimur.html

Sejarah Kesultanan Kutai Kartanegara

Ditinjau dari sejarah Indonesia kuno, Kerajaan Kutai merupakan kerajaan tertua di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya 7 buah prasasti yang ditulis diatas yupa (tugu batu) yang ditulis dalam bahasa Sansekerta dengan menggunakan huruf Pallawa. Berdasarkan paleografinya, tulisan tersebut diperkirakan berasal dari abad ke-5 Masehi.

Dari prasasti tersebut dapat diketahui adanya sebuah kerajaan dibawah kepemimpinan Sang Raja Mulawarman, putera dari Raja Aswawarman, cucu dari Maharaja Kudungga. Kerajaan yang diperintah oleh Mulawarman ini bernama Kerajaan Kutai Martadipura, dan berlokasi di seberang kota Muara Kaman.

Pada awal abad ke-13, berdirilah sebuah kerajaan baru di Tepian Batu atau Kutai Lama yang bernama Kerajaan Kutai Kartanegara dengan rajanya yang pertama, Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325).

Dengan adanya dua kerajaan di kawasan Sungai Mahakam ini tentunya menimbulkan friksi diantara keduanya. Pada abad ke-16 terjadilah peperangan diantara kedua kerajaan Kutai ini. Kerajaan Kutai Kartanegara dibawah rajanya Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa akhirnya berhasil menaklukkan Kerajaan Kutai Martadipura. Raja kemudian menamakan kerajaannya menjadi Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura.

Pada abad ke-17 agama Islam diterima dengan baik oleh Kerajaan Kutai Kartanegara. Selanjutnya banyak nama-nama Islami yang akhirnya digunakan pada nama-nama raja dan keluarga kerajaan Kutai Kartanegara. Sebutan raja pun diganti dengan sebutan Sultan. Sultan yang pertama kali menggunakan nama Islam adalah Sultan Aji Muhammad Idris (1735-1778).

Tahun 1732, ibukota Kerajaan Kutai Kartanegara pindah dari Kutai Lama ke Pemarangan.

Perpindahan ibukota Kerajaan Kutai Kartanegara dari Kutai Lama (1300-1732) ke Pemarangan (1732-1782) kemudian pindah ke Tenggarong (1782-kini).

Sultan Aji Muhammad Idris yang merupakan menantu dari Sultan Wajo Lamaddukelleng berangkat ke tanah Wajo, Sulawesi Selatan untuk turut bertempur melawan VOC bersama rakyat Bugis. Pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara untuk sementara dipegang oleh Dewan Perwalian.

Pada tahun 1739, Sultan A.M. Idris gugur di medan laga. Sepeninggal Sultan Idris, terjadilah perebutan tahta kerajaan oleh Aji Kado. Putera mahkota kerajaan Aji Imbut yang saat itu masih kecil kemudian dilarikan ke Wajo. Aji Kado kemudian meresmikan namanya sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan menggunakan gelar Sultan Aji Muhammad Aliyeddin.

Setelah dewasa, Aji Imbut sebagai putera mahkota yang syah dari Kesultanan Kutai Kartanegara kembali ke tanah Kutai. Oleh kalangan Bugis dan kerabat istana yang setia pada mendiang Sultan Idris, Aji Imbut dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin. Penobatan Sultan Muslihuddin ini dilaksanakan di Mangkujenang (Samarinda Seberang). Sejak itu dimulailah perlawanan terhadap Aji Kado.

Perlawanan berlangsung dengan siasat embargo yang ketat oleh Mangkujenang terhadap Pemarangan. Armada bajak laut Sulu terlibat dalam perlawanan ini dengan melakukan penyerangan dan pembajakan terhadap Pemarangan. Tahun 1778, Aji Kado meminta bantuan VOC namun tidak dapat dipenuhi.

Pada tahun 1780, Aji Imbut berhasil merebut kembali ibukota Pemarangan dan secara resmi dinobatkan sebagai sultan dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin di istana Kesultanan Kutai Kartanegara. Aji Kado dihukum mati dan dimakamkan di Pulau Jembayan.

Aji Imbut gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin memindahkan ibukota Kesultanan Kutai Kartanegara ke Tepian Pandan pada tanggal 28 September 1782. Perpindahan ini dilakukan untuk menghilangkan pengaruh kenangan pahit masa pemerintahan Aji Kado dan Pemarangan dianggap telah kehilangan tuahnya. Nama Tepian Pandan kemudian diubah menjadi Tangga Arung yang berarti Rumah Raja, lama-kelamaan Tangga Arung lebih populer dengan sebutan Tenggarong dan tetap bertahan hingga kini.

Pada tahun 1838, Kesultanan Kutai Kartanegara dipimpin oleh Sultan Aji Muhammad Salehuddin setelah Aji Imbut mangkat pada tahun tersebut.

Pada tahun 1844, 2 buah kapal dagang pimpinan James Erskine Murray asal Inggris memasuki perairan Tenggarong. Murray datang ke Kutai untuk berdagang dan meminta tanah untuk mendirikan pos dagang serta hak eksklusif untuk menjalankan kapal uap di perairan Mahakam. Namun Sultan A.M. Salehuddin mengizinkan Murray untuk berdagang hanya di wilayah Samarinda saja. Murray kurang puas dengan tawaran Sultan ini. Setelah beberapa hari di perairan Tenggarong, Murray melepaskan tembakan meriam kearah istana dan dibalas oleh pasukan kerajaan Kutai. Pertempuran pun tak dapat dihindari. Armada pimpinan Murray akhirnya kalah dan melarikan diri menuju laut lepas. Lima orang terluka dan tiga orang tewas dari pihak armada Murray, dan Murray sendiri termasuk diantara yang tewas tersebut.

Insiden pertempuran di Tenggarong ini sampai ke pihak Inggris. Sebenarnya Inggris hendak melakukan serangan balasan terhadap Kutai, namun ditanggapi oleh pihak Belanda bahwa Kutai adalah salah satu bagian dari wilayah Hindia Belanda dan Belanda akan menyelesaikan permasalahan tersebut dengan caranya sendiri. Kemudian Belanda mengirimkan armadanya dibawah komando t'Hooft dengan membawa persenjataan yang lengkap. Setibanya di Tenggarong, armada t'Hooft menyerang istana Sultan Kutai. Sultan A.M. Salehuddin diungsikan ke Kota Bangun. Panglima perang kerajaan Kutai, Awang Long gelar Pangeran Senopati bersama pasukannya dengan gagah berani bertempur melawan armada t'Hooft untuk mempertahankan kehormatan Kerajaan Kutai Kartanegara. Awang Long gugur dalam pertempuran yang kurang seimbang tersebut dan Kesultanan Kutai Kartanegara akhirnya kalah dan takluk pada Belanda.

Pada tanggal 11 Oktober 1844, Sultan A.M. Salehuddin harus menandatangani perjanjian dengan Belanda yang menyatakan bahwa Sultan mengakui pemerintahan Hindia Belanda dan mematuhi pemerintah Hindia Belanda di Kalimantan yang diwakili oleh seorang Residen yang berkedudukan di Banjarmasin.

Tahun 1846, H. von Dewall menjadi administrator sipil Belanda yang pertama di pantai timur Kalimantan.

Pada tahun 1850, Sultan A.M. Sulaiman memegang tampuk kepemimpinan Kesultanan Kutai kartanegara Ing Martadipura.

Pada tahun 1853, pemerintah Hindia Belanda menempatkan J. Zwager sebagai Assisten Residen di Samarinda. Saat itu kekuatan politik dan ekonomi masih berada dalam genggaman Sultan A.M. Sulaiman (1850-1899).

Pada tahun 1863, kerajaan Kutai Kartanegara kembali mengadakan perjanjian dengan Belanda. Dalam perjanjian itu disepakati bahwa Kerajaan Kutai Kartanegara menjadi bagian dari Pemerintahan Hindia Belanda.

Tahun 1888, pertambangan batubara pertama di Kutai dibuka di Batu Panggal oleh insinyur tambang asal Belanda, J.H. Menten. Menten juga meletakkan dasar bagi ekspoitasi minyak pertama di wilayah Kutai. Kemakmuran wilayah Kutai pun nampak semakin nyata sehingga membuat Kesultanan Kutai Kartanegara menjadi sangat terkenal di masa itu. Royalti atas pengeksloitasian sumber daya alam di Kutai diberikan kepada Sultan Sulaiman.

Tahun 1899, Sultan Sulaiman wafat dan digantikan putera mahkotanya Aji Mohammad dengan gelar Sultan Aji Muhammad Alimuddin.
A.P. Mangkunegoro

Pada tahun 1907, misi Katholik pertama didirikan di Laham. Setahun kemudian, wilayah hulu Mahakam ini diserahkan kepada Belanda dengan kompensasi sebesar 12.990 Gulden per tahun kepada Sultan Kutai Kartanegara.

Sultan Alimuddin hanya bertahta dalam kurun waktu 11 tahun saja, beliau wafat pada tahun 1910. Berhubung pada waktu itu putera mahkota Aji Kaget masih belum dewasa, tampuk pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara kemudian dipegang oleh Dewan Perwalian yang dipimpin oleh Aji Pangeran Mangkunegoro.

Pada tanggal 14 Nopember 1920, Aji Kaget dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan Aji Muhammad Parikesit.

Sejak awal abad ke-20, ekonomi Kutai berkembang dengan sangat pesat sebagai hasil pendirian perusahaan Borneo-Sumatra Trade Co. Di tahun-tahun tersebut, kapital yang diperoleh Kutai tumbuh secara mantap melalui surplus yang dihasilkan tiap tahunnya. Hingga tahun 1924, Kutai telah memiliki dana sebesar 3.280.000 Gulden - jumlah yang sangat fantastis untuk masa itu.

Tahun 1936, Sultan A.M. Parikesit mendirikan istana baru yang megah dan kokoh yang terbuat dari bahan beton. Dalam kurun waktu satu tahun, istana tersebut selesai dibangun.

Ketika Jepang menduduki wilayah Kutai pada tahun 1942, Sultan Kutai harus tunduk pada Tenno Heika, Kaisar Jepang. Jepang memberi Sultan gelar kehormatan Koo dengan nama kerajaan Kooti.

Indonesia merdeka pada tahun 1945. Dua tahun kemudian, Kesultanan Kutai Kartanegara dengan status Daerah Swapraja masuk kedalam Federasi Kalimantan Timur bersama-sama daerah Kesultanan lainnya seperti Bulungan, Sambaliung, Gunung Tabur dan Pasir dengan membentuk Dewan Kesultanan. Kemudian pada 27 Desember 1949 masuk dalam Republik Indonesia Serikat.

Daerah Swapraja Kutai diubah menjadi Daerah Istimewa Kutai yang merupakan daerah otonom/daerah istimewa tingkat kabupaten berdasarkan UU Darurat No.3 Th.1953.

Pada tahun 1959, berdasarkan UU No. 27 Tahun 1959 tentang "Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II di Kalimantan", wilayah Daerah Istimewa Kutai dipecah menjadi 3 Daerah Tingkat II, yakni:
1. Daerah Tingkat II Kutai dengan ibukota Tenggarong
2. Kotapraja Balikpapan dengan ibukota Balikpapan
3. Kotapraja Samarinda dengan ibukota Samarinda

Pada tanggal 20 Januari 1960, bertempat di Gubernuran di Samarinda, A.P.T. Pranoto yang menjabat sebagai Gubernur Kalimantan Timur, dengan atas nama Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia melantik dan mengangkat sumpah 3 kepala daerah untuk ketiga daerah swatantra tersebut, yakni:
1. A.R. Padmo sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kutai
2. Kapt. Soedjono sebagai Walikota Kotapraja Samarinda
3. A.R. Sayid Mohammad sebagai Walikota Kotapraja Balikpapan

Sehari kemudian, pada tanggal 21 Januari 1960 bertempat di Balairung Keraton Sultan Kutai, Tenggarong diadakan Sidang Khusus DPRD Daerah Istimewa Kutai. Inti dari acara ini adalah serah terima pemerintahan dari Kepala Kepala Daerah Istimewa Kutai, Sultan Aji Muhammad Parikesit kepada Aji Raden Padmo sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kutai, Kapten Soedjono (Walikota Samarinda) dan A.R. Sayid Mohammad (Walikota Balikpapan). Pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara dibawah Sultan Aji Muhammad Parikesit berakhir, dan beliau pun hidup menjadi rakyat biasa.

Pada tahun 1999, Bupati Kutai Kartanegara Drs. H. Syaukani HR, MM berniat untuk menghidupkan kembali Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura. Dikembalikannya Kesultanan Kutai ini bukan dengan maksud untuk menghidupkan feodalisme di daerah, namun sebagai upaya pelestarian warisan sejarah dan budaya Kerajaan Kutai sebagai kerajaan tertua di Indonesia. Selain itu, dihidupkannya tradisi Kesultanan Kutai Kartanegara adalah untuk mendukung sektor pariwisata Kalimantan Timur dalam upaya menarik minat wisatawan nusantara maupun mancanegara.

Pada tanggal 7 Nopember 2000, Bupati Kutai Kartanegara bersama Putera Mahkota Kutai H. Aji Pangeran Praboe Anoem Soerja Adiningrat menghadap Presiden RI Abdurrahman Wahid di Bina Graha Jakarta untuk menyampaikan maksud diatas. Presiden Wahid menyetujui dan merestui dikembalikannya Kesultanan Kutai Kartanegara kepada keturunan Sultan Kutai yakni putera mahkota H. Aji Pangeran Praboe.

Pada tanggal 22 September 2001, Putra Mahkota Kesultanan Kutai Kartanegara, H. Aji Pangeran Praboe Anoem Soerya Adiningrat dinobatkan menjadi Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan H. Aji Muhammad Salehuddin II. Penabalan H.A.P. Praboe sebagai Sultan Kutai Kartanegara baru dilaksanakan pada tanggal 22 September 2001. (KutaiKartanegara.com)


Sumber :
http://www.kutaikartanegara.com/