Sabtu, 13 Februari 2010

Kalimantan Timur



Kalimantan Timur adalah Daerah Tingkat I yang berstatus provinsi di Indonesia. Provinsi ini merupakan salah satu dari empat provinsi di Kalimantan.

Kalimantan Timur merupakan provinsi terluas kedua di Indonesia, dengan luas wilayah 245.237,80 km2 atau sekitar satu setengah kali Pulau Jawa dan Madura atau 11% dari total luas wilayah Indonesia. Propinsi ini berbatasan langsung dengan negara tetangga, yaitu Negara Bagian Sabah dan Serawak, Malaysia Timur.


Sejarah

Sebelum kedatangan Belanda terdapat beberapa kerajaan yang berada di Kalimantan Timur, diantaranya adalah Kerajaan Kutai (beragama Hindu), Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura, Kesultanan Pasir, Kesultanan Bulungan.

Propinsi Kalimantan Timur selain sebagai kesatuan administrasi, juga sebagai kesatuan ekologis dan historis. Kalimantan Timur sebagai wilayah administrasi dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956 dengan Gubernurnya yang pertama adalah APT Pranoto.

Sebelumnya Kalimantan Timur merupakan salah satu karesidenan dari Provinsi Kalimantan. Sesuai dengan aspirasi rakyat, sejak tahun 1956 wilayahnya dimekarkan menjadi tiga Provinsi, yaitu Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Barat.


Pembentukan provinsi Kalimantan Timur

Daerah-daerah Tingkat II di dalam wilayah Kalimantan Timur, dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 27 Tahun 1959, Tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Kalimantan (Lembaran Negara Tahun 1955 No.9).

Lembaran Negara No.72 Tahun 1959 terdiri atas:
Kotamadya Samarinda, dengan Kota Samarinda sebagai ibukotanya dan sekaligus sebagai ibukota Provinsi Kalimantan Timur.
Kotamadya Balikpapan, dengan kota Balikpapan sebagai ibukotanya dan merupakan pintu gerbang Kalimantan Timur.
Kabupaten Kutai, dengan ibukotanya Tenggarong
Kabupaten Pasir, dengan ibukotanya Tanah Grogot.
Kabupaten Berau, dengan ibukotanya Tanjung Redeb.
Kabupaten Bulungan, dengan ibukotanya Tanjung Selor.


Pembentukan Kota dan Kabupaten Baru

Berdarkan Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 1981, maka dibentuk Kota Administratif Bontang di wilayah Kabupaten Kutai dan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 1989, maka dibentuk pula Kota Madya Tarakan di wilayah Kabupaten Bulungan. Dalam Perkembangan lebih lanjut sesuai dengan ketentuan di dalam UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah, maka dibentuk 2 Kota dan 4 kabupaten, yaitu :

Kabupaten Kutai Barat, beribukota di Sendawar.
Kabupaten Kutai Timur, beribukota di Sangatta.
Kabupaten Malinau, beribukota di Malinau.
Kabupaten Nunukan, beribukota di Nunukan.
Kota Bontang (peningkatan kota administratif Bontang menjadi kota madya).

Berdasarkan pada Peraturan Pemerintah nomor 8 tahun 2002, maka Kabupaten Pasir mengalami pemekaran dan pemekarannya bernama Kabupaten Penajam Paser Utara.

Pada tanggal 17 Juli 2007, DPR RI sepakat menyetujui berdirinya Tana Tidung sebagai kabupaten baru di Kalimantan Timur, maka jumlah keseluruhan kabupaten/kota di Kalimantan Timur menjadi 14.


Kabupaten dan Kota

No. Kabupaten/Kota Ibu kota
1 Kabupaten Berau/ Tanjungredep
2 Kabupaten Bulungan/ Tanjungselor
3 Kabupaten Kutai Barat/ Sendawar
4 Kabupaten Kutai Kartanegara/ Tenggarong
5 Kabupaten Kutai Timur/ Sangatta
6 Kabupaten Malinau/ Malinau
7 Kabupaten Nunukan/ Nunukan
8 Kabupaten Paser/ Tanah Grogot
9 Kabupaten Penajam Paser Utara/ Penajam
10 Kabupaten Tana Tidung/ Tideng Pale
11 Kota Balikpapan -
12 Kota Bontang -
13 Kota Samarinda -
14 Kota Tarakan -


Catatan:

Koordinat : 113°44' - 119°00' BT
4°24' LU - 2°25' LS
Dasar hukum : UU No. 25 Tahun 1956
Tanggal penting : 1 Januari 1957
Ibu kota : Samarinda
Gubernur : Awang Faroek Ishak
Luas : 245.237,80[1] km²
Penduduk : 2.750.369[1] jiwa (2004)
Kepadatan : 11,22[1] jiwa/km²
Kabupaten : 10
Kota : 4
Kecamatan : 122[2]
Kelurahan/Desa : 191 / 1.347[2]
Suku : Jawa Transmigran (29,55%), Bugis Transmigran (18,26%), Banjar (13,94%), Dayak (9,91%) dan Kutai (9,21%) dan suku lainnya 19,13%.[3]
Agama : Islam (85,2%), Kristen (Protestan & Katolik) (13,9%), Hindu (0,19%), dan Budha (0,62%) (2000)
Bahasa : Bahasa Indonesia, Banjar, Dayak, Kutai
Zona waktu : WITA (UTC+8)
Lagu daerah : Indung-Indung, Buah Bolok, Lamin Talunsur


Sumber :

http://id.wikipedia.org/wiki/Kalimantan_Timur


Peta Kaltim


View Larger Map

Akankah Prov Kalimantan Utara Terbentuk?

WILAYAH Kalimantan Utara selama ini sangat identik dengan kawasan Sabah dan Sarawak yang merupakan wilayah negara bagian di Malaysia. Karena itu, di dalam peta Indonesia, wilayah tersebut selalu diberi warna putih. Namun, sebutan Kalimantan Utara tampaknya akan segera dikoreksi jika keinginan sejumlah pemerintah daerah, yakni Pemerintah Kabupaten Nunukan, Kabupaten Bulungan, Kabupaten Malinau, dan Kota Tarakan, yang sepakat untuk memisahkan diri dari Provinsi Kalimantan Timur, terpenuhi. Mereka ingin membentuk Provinsi Kalimantan Utara yang tentu tidak berada dalam wilayah “putih” peta sekarang.

KESEPAKATAN ini bukan semata-mata kehendak bupati atau wali kota, tetapi sudah disepakati dewan perwakilan rakyat di masing-masing daerah. Bahkan, dalam pertemuan dengan DPRD Provinsi Kalimantan Timur di Samarinda, kehendak untuk membentuk Provinsi Kalimantan Utara kembali ditegaskan para bupati dan wali kota.

Kehendak untuk memisahkan diri ini tentu saja mengundang pertanyaan sejumlah pihak. Maklum saja, selama bergabung dengan Provinsi Kalimantan Timur, keempat kabupaten dan kota tersebut mendapat kucuran dana perimbangan yang sangat besar karena Kalimantan Timur merupakan salah satu daerah penghasil minyak dan gas (migas) terbesar di Tanah Air.

Setiap kabupaten dan kota mendapat dana bagi hasil migas di atas Rp 200 miliar per tahun, belum lagi dana reboisasi dan dana alokasi khusus. Tidak heran jika Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) keempat kabupaten dan kota tersebut relatif besar jika dibandingkan dengan APBD daerah lain di luar Kalimantan Timur.

Kabupaten Nunukan yang jumlah penduduknya hanya sekitar 95.000 jiwa, misalnya, besarnya APBD 2004 lebih dari Rp 300 miliar. Kabupaten Bulungan yang jumlah penduduknya sekitar 96.000 orang memiliki APBD di atas Rp 500 miliar atau lebih besar daripada APBD Provinsi Kalimantan Barat.

Begitu pun Kabupaten Malinau yang penduduknya hanya sekitar 46.000 jiwa memiliki APBD di atas Rp 320 miliar, sedangkan Kota Tarakan memiliki APBD Rp 350 miliar yang sebagian besar berasal dari dana bagi hasil daerah penghasil migas serta dana perimbangan lainnya.

Jika memisahkan diri, dana bagi hasil migas tentu saja tidak akan diterima lagi. Otomatis, APBD akan menurun karena pendapatan asli daerah (PAD) masing-masing kota dan kabupaten tersebut relatif kecil jika dibandingkan dengan besarnya APBD.

“Jika perhitungannya cuma soal uang, dalam jangka pendek kami memang mengalami kerugian karena kami kehilangan salah satu sumber pendapatan daerah. Namun, bukan itu yang menjadi pertimbangan kami untuk membentuk Provinsi Kalimantan Utara,” kata Thamrin AD, Wakil Wali Kota Tarakan.

LEPASNYA Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan di Kabupaten Nunukan ke tangan Malaysia menjadi pengalaman pahit bagi Pemerintah Indonesia maupun kabupaten dan kota di Provinsi Kalimantan Timur. Selain trauma atas peristiwa tersebut, pemerintah kabupaten dan kota di Kalimantan Timur tidak ingin peristiwa itu terulang kembali.

“Peristiwa itu menjadi pengalaman yang sangat pahit, baik dari segi politis maupun kehidupan berbangsa dan bernegara,” kata Thamrin.

Namun, pemerintah kabupaten dan kota juga menyadari bahwa tidak gampang mempertahankan dan mengawasi wilayah Kalimantan Timur yang luasnya 211.440 kilometer persegi, atau 1,5 kali Pulau Jawa, karena jumlah aparat sangat terbatas. Selain aparat yang terbatas, jumlah penduduknya juga sangat minim, hanya sekitar 2,7 juta jiwa, namun harus mempertahankan wilayah yang luasnya 1,5 kali Pulau Jawa!

Padahal, selain wilayah yang sangat luas, Provinsi Kalimantan Timur bagian utara memiliki ratusan pulau besar dan kecil yang lokasinya tersebar dan berbatasan langsung dengan Negara Bagian Sabah serta Sarawak, Malaysia. Kabupaten Nunukan memiliki luas wilayah 14.585 kilometer persegi atau sekitar 22 kali luas DKI Jakarta, tetapi hanya berpenduduk sekitar 95.000 jiwa.

Kabupaten ini pun memiliki puluhan pulau besar dan kecil yang lokasinya berjauhan serta sulit dijangkau. Beberapa pulau yang cukup besar, misalnya Pulau Nunukan seluas 21.450 hektar, Pulau Sebatik 20.975 hektar, Pulau Bukat dan Bulau Sinualan yang luasnya masing-masing sekitar 15.000 hektar, sudah berpenghuni. Namun, pulau-pulau lainnya masih kosong dan tidak aktivitas sama sekali sehingga rawan dari segi keamanan, serta bisa diklaim milik negara tetangga.

“Jika dibentuk Provinsi Kalimantan Utara, dengan sendirinya akan dibentuk kepolisian daerah sehingga pengawasannya pun menjadi lebih efektif. Inilah salah satu pertimbangan kami ingin membentuk Provinsi Kalimantan Utara, yakni untuk mempertahankan keutuhan wilayah Indonesia,” kata Thamrin.

Maklum saja, selain Kabupaten Nunukan, kabupaten lainnya seperti Bulungan memiliki persoalan yang sama. Kabupaten yang memiliki luas wilayah 18.010 kilometer persegi atau separuh luas Provinsi Jawa Tengah ini hanya berpenduduk 95.925 jiwa atau setara dengan jumlah penduduk satu kecamatan di Jawa.

Padahal, selain tidak seimbangnya antara luas wilayah dan jumlah penduduk, kondisi geografisnya juga sangat berat untuk ditaklukkan karena memiliki puluhan pulau besar dan kecil yang lokasinya tersebar. Empat kecamatan yang ada di Kabupaten Bulungan semuanya memiliki pulau yang luasnya bervariasi, seperti Pulau Mandul yang luasnya 31.575 hektar, Pulau Bengkudulis Besar 24.775 hektar, Pulau Mapat 14.500 hektar, Pulau Papa seluas 275 hektar, serta pulau lainnya yang sebagian besar tidak berpenghuni.

“Dari sisi keamanan wilayah, pulau-pulau ini menjadi rawan, sedangkan dari segi ekonomi, potensi pulau yang melimpah ini tidak bisa digarap optimal,” kata Bupati Bulungan, Anang Dachlan Djauhari.

LAIN lagi persoalan yang dihadapi Kabupaten Malinau. Kabupaten seluas 42.620 kilometer persegi-sama dengan luas Provinsi Jawa Barat digabung dengan Provinsi Banten-ini memiliki persoalan banyaknya daerah terisolasi. Meski wilayahnya sangat luas, penduduk kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Bulungan ini hanya 46.000 jiwa dan tersebar di 135 desa.

Kondisi ini masih ditambah lagi dengan topografi yang sebagian besar berupa pegunungan dengan ketinggian sekitar 1.500-3.000 meter di atas permukaan laut. Bahkan, lebih dari 20 gunung menjulang di Kabupaten Malinau, yakni Gunung Naga Paratu (2.910 meter), Gunung Makita (2.987 meter), dan gunung-gunung tinggi lainnya yang terutama menjulang di Kecamatan Mentarang dan berbatasan langsung dengan Sarawak.

“Untuk melakukan pembangunan di daerah-daerah tersebut sangat sulit karena medannya sangat berat, topografinya curam, dan masih dipisahkan sungai-sungai yang sangat lebar,” kata Bupati Malinau, Martin Billa.

Tidak kurang dari 24 sungai besar yang melintas dan terbentang di Kabupaten Malinau. Sungai Bahau, misalnya, panjangnya sekitar 622 kilometer atau sama dengan jarak Jakarta-Semarang, Sungai Kayan (576 kilometer), Sungai Pengenau (242 kilometer), serta sungai-sungai lain yang tidak gampang untuk dilintasi karena sangat curam.

“Kesulitan penduduk bertambah lagi jika harus berhubungan dengan ibu kota provinsi di Samarinda, yang jaraknya lebih dari 1.000 kilometer. Karena itulah dengan pertimbangan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan, kami menghendaki dibentuknya provinsi baru yang diberi nama Provinsi Kalimantan Utara,” kata Martin Billa. “Provinsi ini merupakan gabungan dari beberapa kabupaten dan kota yang berada di Kalimantan Timur bagian utara,” ujarnya lebih lanjut.

Sejauh ini sudah empat kabupaten dan kota yang menyatakan sepakat dan akan bergabung dengan Provinsi Kalimantan Utara, yakni Kabupaten Malinau, Kabupaten Bulungan, Kabupaten Nunukan, serta Kota Tarakan. Kabupaten Berau, yang semula disebut-sebut akan bergabung, telah membatalkan niatnya.

“Kami mendukung pembentukan Provinsi Kalimantan Utara. Namun, sesuai dengan aspirasi masyarakat, kami akan tetap bergabung dengan Provinsi Kalimantan Timur,” kata Bupati Berau, Masdjuni.

KONSEKUENSI pembentukan Provinsi Kalimantan Utara secara ekonomis, APBD keempat kabupaten dan kota tersebut bisa menurun. Hal ini karena tidak ada sumber migas yang melimpah dan sudah dieksploitasi secara besar-besaran di keempat kabupaten dan kota tersebut.

Kondisi ini berbeda dengan Provinsi Kalimantan Timur. Sekarang ini Kabupaten Kutai Kartanegara, Kota Balikpapan, dan Kota Bontang merupakan sumber migas yang sudah dieksploitasi dan hasilnya melimpah. Begitu pun tambang emas sudah dieksploitasi di Kabupaten Kutai Barat. Tambang batu bara sudah dieksploitasi di Kabupaten Kutai Timur, Kabupaten Kutai Kartanegara, dan Kabupaten Berau.

Tidak heran, dengan melimpahnya hasil tambang ini, produk domestik regional bruto (PDRB) Kalimantan Timur lebih dari Rp 88 triliun dan disumbangkan untuk pendapatan nasional. Adapun dana yang kembali ke Provinsi Kalimantan Timur lebih dari Rp 8 triliun dan sebagian dibagikan kepada 13 kota dan kabupaten yang ada di Kalimantan Timur.

Dampak dari melimpahnya sumber daya alam ini, APBD sejumlah kabupaten dan kota di Kalimantan Timur juga sangat fantastis jika dibandingkan dengan APBD kabupaten atau kota lain di luar Kalimantan Timur. APBD Kabupaten Kutai Kartanegara, misalnya, sekitar Rp 2,7 triliun yang merupakan APBD terbesar untuk tingkat kabupaten di seluruh Tanah Air. APBD Kota Balikpapan dan Kota Samarinda sekitar Rp 500 miliar yang berarti sama dengan APBD Provinsi Kalimantan Barat, dan bahkan APBD Provinsi Kalimantan Timur yang berpenduduk hanya 2,7 juta jiwa, mencapai Rp 3 triliun.


Catatan:

Provinsi Kalimantan Utara akan meliputi lima daerah :

1. Kota Tarakan
2. Kab Bulungan
3. Kab Tana Tidung
4. Kab Malinau
5. Kab Nunukan

Sumber :
http://ryanalfiannoor.wordpress.com/2009/01/22/akankah-kalimantan-utara-terbentuk/
22 Januari 2009

Sejarah Kota Samarinda



Kota Samarinda adalah salah satu kota sekaligus merupakan ibu kota dari provinsi Kalimantan Timur, Indonesia. Berbatasan langsung dengan Kabupaten Kutai Kartanegara. Kota Samarinda dapat dicapai dengan perjalanan darat, laut dan udara. Dengan Sungai Mahakam yang membelah di tengah Kota Samarinda, yang menjadi "gerbang" menuju pedalaman Kalimantan Timur. Kota ini memiliki luas wilayah 718 km²[1] dan berpenduduk 579.933 jiwa (6 Februari 2004).


Sejarah

Awal mula berdirinya Samarinda

Perjanjian Bungaya

Pada saat pecah perang Gowa, pasukan Belanda di bawah Laksamana Speelman memimpin angkatan laut Kompeni menyerang Makassar dari laut, sedangkan Arung Palakka yang mendapat bantuan dari Belanda karena ingin melepaskan Bone dari penjajahan Sultan Hasanuddin (raja Gowa) menyerang dari daratan. Akhirnya Kerajaan Gowa dapat dikalahkan dan Sultan Hasanuddin terpaksa menandatangani perjanjian yang dikenal dengan Perjanjian Bungaya pada tanggal 18 November 1667.


Kedatangan orang Bugis ke Kesultanan Kutai

Sebagian orang-orang Bugis Wajo dari kerajaan Gowa yang tidak mau tunduk dan patuh terhadap isi perjanjian Bongaja tersebut, mereka tetap meneruskan perjuangan dan perlawanan secara gerilya melawan Belanda dan ada pula yang hijrah ke pulau-pulau lainnya diantaranya ada yang hijrah ke daerah Kesultanan Kutai, yaitu rombongan yang dipimpin oleh Lamohang Daeng Mangkona (bergelar Pua Ado yang pertama). Kedatangan orang-orang Bugis Wajo dari Kerajaan Gowa itu diterima dengan baik oleh Sultan Kutai.

Atas kesepakatan dan perjanjian, oleh Raja Kutai rombongan tersebut diberikan lokasi sekitar kampung melantai, suatu daerah dataran rendah yang baik untuk usaha Pertanian, Perikanan dan Perdagangan. Sesuai dengan perjanjian bahwa orang-orang Bugis Wajo harus membantu segala kepentingan Raja Kutai, terutama didalam menghadapi musuh.

Semua rombongan tersebut memilih daerah sekitar muara Karang Mumus (daerah Selili seberang) tetapi daerah ini menimbulkan kesulitan didalam pelayaran karena daerah yang berarus putar (berulak) dengan banyak kotoran sungai. Selain itu dengan latar belakang gunung-gunung (Gunung Selili).


Rumah Rakit yang Sama Rendah

Sekitar tahun 1668, Sultan yang dipertuan Kerajaan Kutai memerintahkan Poea Adi bersama pengikutnya yang asal tanah Sulawesi membuka perkampungan di Tanah Rendah. Pembukaan perkampungan ini dimaksud Sultan Kutai, sebagai daerah pertahanan dari serangan bajak laut asal Pilipina yang sering melakukan perampokan di berbagai daerah pantai wilayah kerajaan Kutai Kartanegara. Selain itu, Sultan yang dikenal bijaksana ini memang bermaksud memberikan tempat bagi masyarakat Bugis yang mencari suaka ke Kutai akibat peperangan di daerah asal mereka. Perkampungan tersebut oleh Sultan Kutai diberi nama Sama Rendah. Nama ini tentunya bukan asal sebut. Sama Rendah dimaksudkan agar semua penduduk, baik asli maupun pendatang, berderajat sama. Tidak ada perbedaan antara orang Bugis, Kutai, Banjar dan suku lainnya.

Dengan rumah rakit yang berada di atas air, harus sama tinggi antara rumah satu dengan yang lainnya, melambangkan tidak ada perbedaan derajat apakah bangsawan atau tidak, semua "sama" derajatnya dengan lokasi yang berada di sekitar muara sungai yang berulak, dan di kiri kanan sungai daratan atau "rendah". Diperkirakan dari istilah inilah lokasi pemukiman baru tersebut dinamakan Samarenda atau lama-kelamaan ejaan Samarinda.

Sedang Poea Adi diberi gelar Panglima Sepangan Pantai. Ia bertanggungjawab terhadap keamanan rakyat dan kampung-kampung sekitar sampai ke bagian Muara Badak, Muara Pantuan dan sekitarnya. Keputusan sidang kerajaan membuka Desa Sama Rendah memang jitu. Sejak saat itu, keamanan di sepanjang pantai dan jalur Mahakam menjadi kondusif. Tidak ada lagi bajak laut yang berani beraksi. Dengan demikian, kapal-kapal dagang yang berlayar, baik dari Jawa maupun daerah lainnya bisa dengan aman memasuki Mahakam. Termasuk kapal-kapal pedagang Belanda dan Inggris. Mereka berlayar hingga ke pusat Kerajaan, di Tepian Pandan. Dengan demikian roda pemerintahan berjalan dengan baik serta kesejahteraan masyarakat menjadi meningkat.


Samarinda Seberang

Sejarah terbukanya sebuah kampung yang menjadi kota besar, dikutip dari buku berbahasa Belanda dengan judul “Geschiedenis van Indonesie“ karangan de Graaf. Buku yang diterbitkan NV.Uitg.W.V.Hoeve, Den Haag, tahun 1949 ini juga menceritakan keberadaan Kota Samarinda yang diawali pembukaan perkampungan di Samarinda Seberang yang dipimpin oleh Poea Adi. Belanda yang mengikat perjanjian dengan kesultanan Kutai kian lama kian bertumbuh. Bahkan, secara perlahan Belanda menguasai perekonomian di daerah ini. Untuk mengembangkan kegiatan perdagangannya, maka Belanda membuka perkampungan di Samarinda Seberang pada tahun 1730 atau 62 tahun setelah Poea Adi membangun Samarinda Seberang. Di situlah Belanda memusatkan perdagangannya.

Namun demikian, pembangunan Samarinda Seberang oleh Belanda juga atas ijin dari Sultan Kutai, mengingat kepentingan ekonomi dan pertahanan masyarakat di daerah tersebut. Apalagi, Belanda pada waktu itu juga menempatkan pasukan perangnya di daerah ini sehingga sangat menjamin keamanan bagi Kerajaan Kutai.

Samarinda berkembang terus dengan bertambahnya penduduk yang datang dari Jawa dan Sulawesi dalam kurun waku ratusan tahun. Bahkan sampai pada puncak kemerdekaan tahun 1945 hingga keruntuhan Orde Lama yang digantikan oleh Orde Baru, Samarinda terus ’disatroni’ pendatang dari luar Kaltim. Waktu itu Tahun 1966 adalah peralihan masa Orde Lama ke Orde Baru. Keadaan semuanya masih acak dan semberawut. Masalah keamanan rakyat memang terjamin dengan terbentuknya Hansip (Pertahanan Sipil) yang menggantikan OPR (Organisasi Pertahanan Rakyat). Hansip mendukung keberadaan Polisi dan TNI.

Kendati terbilang maju pada zamannya, perubahan signifikan Kota Samarinda dimulai ketika Walikota Kadrie Oening diangkat dan ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri dengan Surat Keputusan No.Pemda 7/ 67/14-239 tanggal 8 November 1967. Ia menggantikan Mayor Ngoedio yang kemudian bertugas sebagai pejabat tinggi pemerintahan Jawa Timur di Surabaya. Kotamadya Samarinda pada tahun 1950 terbagi tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Samarinda Ulu, Samarinda Ilir dan Samarinda Seberang. Luas wilayahnya saat itu hanya 167 km². Kemudian pada tahun 1960 wilayah Samarinda diperluas menjadi 2.727 km² meliputi daerah Kecamatan Palaran, Sanga-Sanga, Muara Jawa dan Samboja. Namun belakangan, kembali terjadi perubahan. Kota Samarinda hanya tinggal Kecamatan Palaran, Samarinda Seberang, Samarinda Ilir, dan Samarinda Ulu.


Penetapan hari jadi Kota Samarinda

Orang-orang Bugis Wajo ini bermukim di Samarinda pada permulaan tahun 1668 atau tepatnya pada bulan Januari 1668 yang dijadikan patokan untuk menetapkan hari jadi kota Samarinda. Telah ditetapkan pada peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Samarinda Nomor: 1 tahun 1988 tanggal 21 Januari 1988, pasal 1 berbunyi Hari Jadi Kota Samarinda ditetapkan pada tanggal 21 Januari 1668 M, bertepatan dengan tanggal 5 Sya'ban 1078 H penetapan ini dilaksanakan bertepatan dengan peringatan hari jadi kota Samarinda ke 320 pada tanggal 21 Januari 1980. 21 Januari 1668 / 5 Sya'ban 1070 Hijriyah : Kedatangan orang-orang suku Bugis Wajo mendirikan pemukiman di muara Karang Mumus.


Catatan :

Pada saat pecah perang Gowa, pasukan Belanda di bawah Laksamana Speelman memimpin angkatan laut menyerang Makasar dari laut, sedangkan Arupalaka yang membantu Belanda menyerang dari daratan. Akhirnya Kerajaan Gowa dapat dikalahkan dan Sultan Hasanudin terpaksa menandatangani perjanjian yang dikenal dengan " PERJANJIAN BONGAJA" pada tanggal 18 Nopember 1667.

Sebagian orang-orang Bugis Wajo dari kerajaan Gowa yang tidak mau tunduk dan patuh terhadap isi perjanjian Bongaja tersebut, mereka tetap meneruskan perjuangan dan perlawanan secara gerilya melawan Belanda dan ada pula yang hijrah ke pulau-pulau lainnya diantaranya ada yang hijrah ke daerah kerajaan Kutai, yaitu rombongan yang dipimpin oleh Lamohang Daeng Mangkona (bergelar Pua Ado yang pertama). Kedatangan orang-orang Bugis Wajo dari Kerajan Gowa itu diterima dengan baik oleh Sultan Kutai.

Atas kesepakatan dan perjanjian, oleh Raja Kutai rombongan tersebut diberikan lokasi sekitar kampung melantai, suatu daerah dataran rendah yang baik untuk usaha Pertanian, Perikanan dan Perdagangan. Sesuai dengan perjanjian bahwa orang-orang Bugis Wajo harus membantu segala kepentingan Raja Kutai, terutama didalam menghadapi musuh.

Semua rombongan tersebut memilih daerah sekitar muara Karang Mumus (daerah Selili seberang) tetapi daerah ini menimbulkan kesulitan didalam pelayaran karena daerah yang berarus putar (berulak) dengan banyak kotoran sungai. Selain itu dengan latar belakang gunung-gunung (Gunung Selili).

Dengan rumah rakit yang berada di atas air, harus sama tinggi antara rumah satu dengan yang lainnya, melambangkan tidak ada perbedaan derajat apakah bangsawan atau tidak, semua "sama" derajatnya dengan lokasi yang berada di sekitar muara sungai yang berulak, dan di kiri kanan sungai daratan atau "rendah". Diperkirakan dari istilah inilah lokasi pemukiman baru tersebut dinamakan SAMARENDA atau lama-kelamaan ejaan "SAMARINDA".

Orang-orang Bugis Wajo ini bermukim di Samarinda pada permulaan tahun 1668 atau tepatnya pada bulan Januari 1668 yang dijadikan patokan untuk menetapkan hari jadi kota Samarinda. Telah ditetapkan pada peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Samarinda Nomor: 1 tahun 1988 tanggal 21 Januari 1988, pasal 1 berbunyi "Hari Jadi Kota Samarinda ditetapkan pada tanggal 21 Januari 1668 M, bertepatan dengan tanggal 5 Sya'ban 1078 H" penetapan ini dilaksanakan bertepatan dengan peringatan hari jadi kota Samarinda ke 320 pada tanggal 21 Januari 1980.



Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Samarinda
http://www.samarinda.go.id/sejarah


Sumber Gambar :
http://denmasrul.com/wp-content/uploads/2008/04/pelabuhan-samarinda.jpg
http://www.bappeda.samarinda.go.id/images/statis/potret_02.jpg

Pariwisata Balikpapan



Penangkaran Buaya

Penangkaran Buaya ini terletak di Kelurahan Teritip dengan luas areal 5 ha. Jumlah buaya yang ada di penangkaran iniberjumlah ± 3.000 ekor yang terdiri dari tiga macam jenis, yaitu Buaya Muara, Buaya Supit dan Buaya Air Tawar.Tempat ini terbuka untuk umum setiap hari dari pukul 08.00 - 17.00. Lokasi ini dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan roda dua atau empat, juga dengan kendaraan umum yaitu angkutan kota No. 7 dengan jarak ± 27 km dari pusat kota Balikpapan.


Meriam Peninggalan Jepang

Meriam peninggalan Tentara Jepang ini berada di kawasan Asrama Bukit, Kelurahan kampung Baru Ilir (sidodadi) dengan jarak ± 8 km dari pusat kota. Meriam ini menggambarkan bahwa balikpapan pada saat Perang Dunia II merupakan tempat yang startegis untuk pertahanan. tempat ini memiliki areal seluas 2.500 m2. Dari tempat ini dapat dilihat pemandangan kota Balikpapan, Kilnag Minyak dan teluk Balikpapan. Lokasi ini dapat dicapai dengan menggunakan angkutan kota No. 5 dan No. 6.


Kilang Minyak Balikpapan

Kilang minyak Balikpapan terletak di tepi Teluk Balikpapan, meliputi areal seluas 2.5 km2 . Kilang ini terdiri dari unit Kilang Balikpapan 1 dan unit Kilang Balikpapan II. Kilang Balikpapan 1 dibangun sejak tahun 1922 dan dibangun kembali pada tahun 1948 dan mulai beroperasi tahun 1950. Sedangkan Kilang Balikpapan II dibangun tahun 1980 dan resmi beroperasi 1 Nopember 1983. Tugas Kilang Balikpapan mengolah minyak mentah menjadi produk-produk yang siap dipasarkan, yaitu BBM dan Non BBM. yang memenuhi kebutuhan dalam negeri khususnya kawasan Timur Indonesia. Lokasi kilang terletak di Jl. Minyak yang berhadapan langsung dengan teluk Balikpapan.


Monumen Perjuangan Rakyat

Monumen ini terletak di pusat kota tepatnya di Jl. Jenderal Sudirman persis didepan kantor Markas KODAM VI Tanjung Pura. Monumen ini menggambarkan perjuangan dan keberanian rakyat Indonesia dalam melawan bangsa penjajah.


Wanawisata KM 10

Taman ini terletak di Km. 10 Jl. Soekarno Hatta ± 15 menit naik kendaraan dari pusat kota Balikpapan. Tempat ini adalahtaman Arboretum yang dibangun oleh PT. Inhutani I Unit Balikpapan. Di dalam taman ini ditanam berbagai jenis pohon dan buah-buahan langka, juga terdapat penangkaran Rusa Sambar (Servus Unicolor) dan trek-trek (jalur) untuk berolahraga joging serta areal camping di alam terbuka dengan lingkungan yang asri. Taman wisata ini dibuka setiap hari dan dapat ditempuh dengan kendaraan roda dua ataupun roda empat, juga tersedia angkutan kota trayek nomor 8 dengan tarif Rp. 1.200,-


Taman Bakapai

Taman ini terletak di Jl. Jend. Sudirman di depan kantor PLN. Di tengah taman terdapat sebuah patung / monumen yang terbuat dari bahan stainles steel yang menggambarkan keluarnya semburan minyak dari perut bumi. Dari dalam patung tersebut air mancur yang pada malam hari didukung oleh pencahayaan yang sangat indah. Lokasi sangat cocok untuk bersantai bersama keluarga.


Hutan Lindung Sungai Wain

Hutang Lindung Sungai Wain merupakan salah satu hutan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat sebagai Hutan Lindung dengan luas areal 10.025 ha. Sungai Wain sepanjang 18.300 m dengan airnya yang jernih, di kiri kanannya terdapat deretan hutan bakau. Habitat binatang yang terdapat di Hutan Lindung Sungai Wain mulai dari ikan, kepiting, burung, kera, orang utan dan lain sebagainya. Pemanfaatan sungai ini juga sebagai sumber air bersih bagi Perumahan Pertamina dan Kilang Minyak yang ada di Kota Balikpapan.


Tugu Australia

Tugu yang terletak di Jl. Jend. Sudirman yang berdekatan dengan pantai Strand Banua Patra ini memiliki luas areal 725 m2 adalah sebuah tugu peringatan sebagai tanda kehormatan bagi Tentara Australia (pasukan Divisi VII Australia) yang gugur melawan Tentara Jepang. Tempat ini mudah dicapai dengan semua jenis kendaraan ataupun angkutan kota dengan nomor trayek 6 dan 3.
Pantai Manggar


Pantai Manggar Segarasari

Pantai dengan luas 13.000 m2 dengan air laut yang jernih, riak gelombang yang kecil serta pasir yang putih, merupakan tempat yang nyaman bagi mereka yang ingin bermain, berlayar maupun volley pantai. Tempat ini dibuka untuk umum mulai pukul 06.00 - 18.00, dapat dicapai dengan kendaraan pribadi maupun kendaraan umum nomor 7. Lokasi pantai ini berada di Kelurahan Manggar dan Teritip dengan jarak 9 km dari Bandara Sepinggan atau 22 km dari pusat kota Balikpapan.


Pantai Melawai

Pantai yang teletak di Jl. Jend. Sudirman dekat dengan Pulau Tukung, tempat dimana para pedagang menjual berbagai macam masakan - minuman yang nikmat dengan harga yang relatif murah. Pengunjung dapat duduk bersantai, bersantap diatas tikar sambil menikmati deburan ombak dan melihat kapal-kapal yang berlayar, lego jangkar maupun yang sedang menurunkan muatan di pelabuhan laut Semayang. Lokasi ini buka mulai pukul 17.00 - 20.30.


Taman Agro Wisata

Taman ini diresmikan pada tanggal 17 Desember 1997 oleh mantan Wakil Presiden RI Tri Sutrisno. Dengan areal seluas 100ha, terletak di Jl. Soekarno Hatta Km. 23. Di dalam taman ini pengunjung dapat menikmati jenis-jenis tanaman tropis. Disamping itu juga terdapat peristirahatan atau piknik dengan fasilitas antara lain : Rumah Panjang (Lamin) yang terbuka untuk berteduh dengan ornamen Dayak, tempat berkemah dengan pemandangan yang alami serta Play Ground. Tempat ini dibuka untuk umum setiap hari dan dapat dikunjungi dengan menggunakan kendaraan roda dua mapun roda empat, juga terdapat angkutan kota trayek No. 8 dengan tarif Rp. 2.500,-


Tugu Peringatan Jepang

Terletak di Kelurahan Lamaru ± 26 km dari pusat kota. Tugu ini dikelilingi oleh hutan dan perkebunan yang indah. Monumen yang terbuat dari batu dengan tulisan Kanki. Didirikan sebagai tanda penghormatan kepada Tentara Jepang yang gugur dalam perang Dunia II. Wisatawan Jepang secara rutin mengunjungi tempat ini pada saat-saat tertentu untuk melakukan penghormatan dengan ritual keagamaan.


Sumber :
http://www.kutaikartanegara.com/wisata/balikpapan.html


Sumber Gambar:
http://zoel2008.files.wordpress.com/2008/07/kilangpertamina1.jpg
http://pu.kaltimprov.go.id/admin/files/7178Baikpapn.JPG

Menengok Tarakan Tempo Dulu



Tarakan, pulau kecil penghasil minyak dilepas pantai timur Kalimantan, adalah salah satu pemicu perang pasifik yang terlupakan. Fakta sejarah ini terkubur oleh sudut pandang sejarah perang dunia kedua terutama perang pasifik yang mengalami ” Amerikanisasi “.

Sesungguhnya pada decade tahun 30an, jepang sebagai Negara industri baru di asia harus bersaing memperoleh sumber daya alam dengan Negara barat yang telah menjajah Asia pasifik selama berabad -abad.

Alhasil, Jepang harus mencari sumber alam terutama minyak diwilayah lain. Yang memungkinkan adalah minyak di kepulauan Indonesia ( Ketika itu bernama Hindia Belanda ), dan sumber minyak terdekat di Nusantara dari jepang adalah Tarakan. Secara geografispun tarakan sangat strategis karena menghubungkan jalur laut Australia -Filiphina – Timur Jauh.

Mengapa Tarakan ? Bukankah ada lapangan minyak Brunei, Cepu, Pangkalan Brandan ataupun Palembang ?

Jawabannya ada pada Amsterdam Effectenblad tahun 1932 yang berkomentar” Kualitas minyak bumi di Tarakan cukup baik, sehingga kapal – kapal besar boleh minyak dengan segera dan bisa dikasih masuk dalam tangki”. Menurut catatan pihak sekutu, sebelum perang dunia kedua, Tarakan menghasilkan 6 juta barel minyak setiap tahun .

Sejarahpun mencatat, tempat pertama dikepulauan Nusantara yang didarati jepang adalah tarakan. Sekitar 15.000 serdadu jepang mendarat di tarakan awal januari 1942 tanpa mendapat perlawanan berarti dari 2.000 prajurit belanda yang bertahan disana. Tarakanpun direbut dalam waktu tiga hari. Komandan militer belanda Letnan Kolonel De Waal, menyerah kapada jenderal Sakaguchi, yang memimpin bala tentara jepang.

Serangan ke tarakan membuka jalan untuk serbuan lanjutan kesumber minyak lainnya di Balikpapan, Tanjung, Pangkalan Brandan, Palembang, Cepu.

Tanggal 1 mei 1945, Tarakan kembali digempur dan dibumi hanguskan oleh serdadu sekutu yang berjumlah 2000.

Melawan 2000 prajurit Angkatan laut dan Angkatan darat jepang. Setelah pertempuran berdarah hingga dua bulan barulah Tarakan dapat direbut dari tangan jepang.
Tulisan ini bermaksud membuka sudut pandang baru tentang perang pasifik sekaligus mengingatkan nilai strategis wilayah – wilayah terluar kepulauan Indonesia yang maha kaya sumber daya alam.


SEJARAH MINYAK DI TARAKAN MULA 1897

Pulau Tarakan dalam pelajaran geografi di Indonesia dan di Belanda, itu dikenal sebagai ” Pulau Minyak “. Kini kegiatan pertambangan migas dimulai sejak zaman penjajahan belanda masih harus berlangsung walaupun produksinya sudah tidak besar lagi.

Bahkan pada perang dunia II, Jepang memilih tarakan sebagai pintu masuk pertama di Indonesia yang diduga kuat disamping karena letak geografisnya yang strategis, juga karena alasan sumber daya alam.

Kini masyarakat kota Tarakan maupun pendatang, dapat dengan mudah melihat menara atau telaga migas, tangki – tangki dan pompa angguk migas sebagai bukti bahwa Tarakan memang sebuah “pulau minyak “.

Sejarah perminyakan di Tarakan dimulai pada tahun 1897, Ketika BPM ( Batavia Petroleum Maatschappij ) sumber lain TPM ( Tarakan Petroleum Maatschappij ) melakukan pengeboran minyak di bagian tenggara pulau Tarakan.

Pada tahun 1941, produksi pertahun mencapai 4,58 juta barel minyak atau rata – rata produksi harian 12,550 BOPD ( Barrel Oil Per Day ). Tetapi menyelang masuknya tentara jepang ketarakan, produksi migas turun drastis bahkan berhenti lantaran semua fasilitas perminyakan dihancurkan.

Kemudian pada tahun 1945, Katanya hasil pengeboran dari sekitar 160 sumur minyak oleh jepang menghasilkan produksi 3,6 juta barel atau hamper mencapai sekitar 10.000 BOPD. Konstruksi menara ( Telaga ) peniggalan jepangbisa dibedakan dari peninggalan Belanda. Menara jepang berkaki tiga, sementara yang dibuat BPM berkaki empat.
Pengelolaan migas di Tarakan pasca kemerdekaan kemudian berturut – turut dipegang PN Pertamina sejak tahun 1965 – 1968, Redco 1968-1971, Tetaro 1971 – 1992 dan sejak tahun 1992 dikelola oleh PT.Expan Kalimantan.

Produksi minnyak awal mengalirnya secara natural, tetapi sejak tahun 1991 Umumnya migas di Tarakan sendiri sebagaimana cadangan sumber daya mineral umumnya, bisa dibedakan antara cadangan terbukti ( Proven Reserves ) Cadangan Sekira ( Probable Reserves ), Cadangan harapan (Possible Reserves ).

Berdasarkan perhitungan PT. Goetek Nusantara ( 2002 ) besarnya cadangan awal minyak bumi dikota Tarakan untuk katagori cadangan terbukti terkira adalah masing – masing 424,601 juta, 15,029 juta, 11,547 juta barel minyak. Sementara cadangan awal gas untuk katagori cadangan terbukti, kira – kira 308,6 milyar kubik, 84,5 BCFG. Jadi total cadangan gas adalah 119,2 BCFG.

Selain ditentukan oleh besarnya cadangan awal migas yang ada, harga jual dan teknologi juga sangat ditentukan oleh cadangan migas terambil yaitu produksi maksimum yang dapat diambil. Cadangan migas terambil merupakan perkalian dari recovery factor dengan cadangan migas di tempat. Kita tahu, bahwa sumber daya migas sebagai sumber daya tidak dapat diperbaharui suatu saat akan habis jika terus diproduksi tatapi dalam perhitungan kurun waktu tertentu, jumlah cadangan bisa bertambah dan berkurang. Tergantung dari ada tidaknya penemuan cadangan baru dari eksplorasi yang dilakukan , perkembangan nilai / harga jual migas dan teknologi.

Setelah minyak bumi ditemukan pada abad ke 18 oleh salah satu perusahaan minyak belanda, Tarakan menjadi primadona para pengusaha minyak dunia. Apalagi hasil minyak bumi Tarakan Kualitasnya termasuk yang terbaik di dunia dan menurut para sejarahwan minyak hasil perut bumi Tarakan tidak memerlukan proses yang banyak dan dapat langsung digunakan.

Perang dunia kedua, Tarakan memberi andil besar terutama diakibatkan hasil tambangnya minyak. Pertempuran besar – besaran terjadinya disini dan salah satu pemicu perang dunia pertama di kawasan Asia pasifik juga berasal dari kota minyak tarakan.Tarakan dengan kepiawaiannya mengatur kotanya paguntaka dengan sangat baik sehinnga tarakan menyulap kota yang kecil ini menjadi kota persinggahan yang dilengkapi sarana dan prasarana terbaik di kawasan utara Kalimantan timur, selain itu ditarakan menjadi andalan Indonesia penghasil minyak

bumi di pulau Kalimantan. Karena minyak bumi adalah sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui, maka masyarakat kota Tarakan khususnya dan Indonesia pada umumnya hams mulai menghemat, lama kelamaan kita akan mengalami krisis listrik karena sumber daya minyak bumi sudah habis.

Jadi pengelolaan sumber daya alam di Tarakan harus dilakukan dengan sebaik mungkin, agar kelak anak cucu kita akan menikmatinya. Karena warisan apa yang dapat kita berikan kalau sumber daya alamnya sudah habis ? Dan penghargaan demi penghargaan di berikan kepada kota berbentuk pulau ini sebagai bukti keberhasilan pembangunan.

Penghargaan itu adalah di tahun 2003, juara Government Awards dengan predikat Best of The Best ,lalu di tahun 2004 masuk 10 besar dalam bidang IT (Informasi Tekhnologi ). Tahun 2005 , mendapat penghargaan Pengelolaan kota terbaik, Otonomi Awads, Certifikat of Recognation oleh united nations words dari general ( ASEAN ) dan terahir tahun yang sama anugrah kepemudaan dari menpora.

Tujuh penghargaan ini, menampakkan dengan jelas prestasi pemerintah dalam mengelola kota yang bermoto BAIS. Dan Tarakan juga dijadikan contoh kota skala kecil yang dapat membangun dengan baik. Itu dikatakan Presiden Susilo Bambang Yudoyono beberapa waktu lalu saat datang ke Tarakan, Beliau salut dengan Pembangunan kota Tarakan yang berupaya menjadikannya sebagai New Singapore.

DAFTAR PUSTAKA.

Santoso, Iwan. 2004. Tarakan “PEARL HARBOR”Indonesia (1942-1945). PT Gramedia Pustaka Jakarta.
Berita, Tarakan.2003. Sejarah Minyak di Tarakan mulai 1897. Berita Tarakan.


Sumber :
Rusliana
http://massofa.wordpress.com/2008/06/23/menengok-tarakan-tempo-dulu/
23 Juni 2008


Sumber Gambar:

http://www.indomigas.com/wp-content/uploads/2010/01/Tarakan.pnghttps://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhrj1ohULJWATwBGl397fG_pbTv8I9MM2lKIs9GqiBSRmAVFn4jWUSQdmIvyOE1CXmFDpxtTmSDsWIBgoJEnQJ2oRzEPzdWGLssCTZHoESP4kiAy6hkCP4jJrV4XfCRBJ2EDmcunJoUcsjk/s320/wisataseosadau.gif

Kota Bontang


Dalam perjalanan sejarah, Bontang yang sebelumnya hanya merupakan perkampungan yang terletak di daerah aliran sungai, kemudian mengalami perubahan status, sehingga menjadi sebuah kota. Ini merupakan tuntutan dari wilayah yang majemuk dan terus berkembang.

Pada awalnya, sebagai kawasan permukiman, Bontang memiliki tata pemerintahan yang sangat sederhana. Semula hanya dipimpin oleh seorang yang dituakan, bergelar Petinggi di bawah naungan kekuasaan Sultan Kutai di Tenggarong. Nama-nama Petinggi Bontang tersebut adalah: Nenek H Tondeng, Muhammad Arsyad yang kemudian diberi gelar oleh Sultan Kutai sebagai Kapitan, Kideng, dan Haji Amir Baida alias Bedang.

Bontang terus berkembang sehingga pada 1952 ditetapkan menjadi sebuah kampong yang dipimpin Tetua Adat. Saat itu kepemimpinan terbagi dua: hal yang menyangkut pemerintahan ditangani oleh Kepala Kampung, sedangkan yang menyangkut adat-istiadat diatur oleh Tetua Adat

Jauh sebelum menjadi wilayah Kota Administratif, sejak 1920, Desa Bontang ditetapkan menjadi ibu kota kecamatan yang kala itu disebut Onder Distrik van Bontang, yang diperintah oleh seorang asisten wedana yang bergelar Kiyai.

Adapun Kyai yang pernah memerintah di Bontang dan masih lekatdalam ingatan sebagian penduduk adalah: Kiyai Anang Kempeng, Kiyai Hasan, Kiyai Aji Raden, Kiyai Anang Acil, Kiyai Menong, Kiyai Yaman, dan Kiyai Saleh.

Sebelum menjadi sebuah kota,status Bontang meningkat menjadi kecamatan , dibawah pimpinan seorang asisten wedana dalam Pemerintahan Sul­tan Aji Muhammad Parikesit, Sultan Kutai Kartanegara XIX (1921-1960), setelah ditetapkan Undang Undang No 27 Tahun 1959 tentang pembentukan Daerah Tk II di Kalimantan Timurdengan menghapus status Pemerintahan Swapraja.

Pada 21 Januari 1960, berdasarkan UU No 27 Tahun 1959 , dalam Sidang istimewa DPRD Istimewa Kutai, Kesultanan Kutai dihapuskan dan sebagai gantinya dibentuk Kabupaten Daerah Tk II Kutai yang meliputi 30 kecamatan. Salah satu kecamatan itu adalah Bontang yang berkedudukan di Bontang Baru, meliputi beberapa desa, yaitu Desa Bontang, Santan Ulu, Santan Ilir, Santan Tengah, Tanjung Laut, Sepaso, Tabayan Lembab, Tepian Langsat, dan Keraitan.

Bontang kemudian mengalami pertumbuhan yang pesat. Hal itu mulai terlihat pada 1975, yang disebabkan karena dijadikannya Bontang sebagai daerah industri. Pada 1974 berdiri PT Badak yang mengelola industri gas alam. Tiga tahun kemudian, 1977, menyusul berdirinya PT Pupuk Kaltim yang mengelola industri pupuk dan amoniak.

Dengan kemajuan yang begitu pesat karena adanya pembangunan sarana dan prasarana yang berskala nasional, bahkan internasional, Pemerintah Daerah mempertimbangkan peningkatan status Bontang dari Kecamatan menjadi Kota Administratif yaitu melalui Peraturan Pemerintah No 20 Tahun 1989. Dengan demikian dibentuklah wilayah kerja Pembantu Bupati Kepala Daerah Tk II Kutai Wilayah Pantai Kecamatan Bontang akhirnya diusulkan Gubernur Kaltim untuk ditingkatkan menjadi Kota Administratif (Kotif).

Pada 1989, dengan PP No. 22 Tahun 1988 Kecamatan Bontang disetujui menjadi Kota Admin-istratif dan diresmikan pada 1990 dengan membawahi Kecamatan Bontang Utara (terdiri dari Bontang Baru, Bontang Kuala, Belimbing, Lok Tuan) dan Selatan (Sekambing, Berbas Pantai, Berbas Tengah, Satimpo, dan Tanjung Laut). Pada 12 Oktober 1999, Kotif kemudian berubah menjadi Kota Otonom, berdasarkan Undang Undang No 47 Tahun 1999.

Guna melaksanakan tugas kepemerintahan saat itu ditunjuk Drs Ishak Karim sebagai Walikota Kotif Bontang yang pertama. Sebagai perkembangan dari Daerah Tk II Kabupaten Kutai, maka melalui UndangUndang No 47 Tahun 1999 tentang pemkatkan menjadi Kota Bontang. Sebagai pelaksana tugas ditunjuk Drs Fachmurniddin yang melaksanakan tugas kepemerintahan dan pelaksanaan persiapan pemilihan walikota definitif.

Sebelumnya juga telah dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bontang oleh Walikota melalui penetapan calon yang diajukan oleh masing-masing partai berdasarkan perolehan kursi pada Pemilu 1999. Setelah persyaratan anggota dewan terpenuhi, maka ditetapkan dan dilantik para anggota dewan yang terdiri dari 25 orang dengan ketua H Rusdin Abdau.

Walikota Bontang pertama dari pemilihan anggota dewan itu adalah dr H Andi Sofyan Hasdam, SpS dari Partai Golkar dan H Adam Malik sebagai Wakil Walikota yang berasal dari PPP. Mereka dilantik dan diambil sumpah jabatan pada 1 Maret 2000.


Sumber :
http://pilarborneo.com/

Sumber Gambar :
http://www.hydrocarbons-technology.com/projects/bontang/images/1-bontang.jpg

Kabupaten Nunukan



Kabupaten Nunukan adalah salah satu Kabupaten di provinsi Kalimantan Timur, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di kota Nunukan. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 14.493 km² dan berpenduduk sebanyak 109.527 jiwa (2004). Motto Kabupaten Nunukan adalah "Penekindidebaya" yang artinya "Membangun Daerah" yang berasal dari bahasa suku Tidung. Nunukan juga adalah nama sebuah kecamatan di Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur, Indonesia.

Pada tahun 2003 terjadi tragedi kemanusiaan besar-besaran di Nunukan ketika para pekerja gelap asal Indonesia yang bekerja di Malaysia dideportasi kembali ke Indonesia lewat Nunukan.

Pelabuhan Nunukan merupakan pelabuhan lintas dengan kota Tawau, Malaysia. Bagi penduduk kota Nunukan yang hendak pergi ke Tawau diperlkan dokumen PLB (Pas Lintas Batas). Setiap hari rata-rata sekitar 8 unit kapal cepat dengan kapasitas kurang lebih 100 orang mondar-mandir antar Nunukan dengan Tawau Malaysia.

Di Kota Tawau sendiri banyak sekali orang Indonesia (baik WNI/ atau warga Malaysia) yang berasal dari Indonesia terutama dari suku bangsa Bugis Bone.


Sejarah terbentuknya kabupaten

Kabupaten Nunukan merupakan wilayah pemekaran dari Kabupaten Bulungan, yang terbentuk berdasarkan pertimbangan luas wilyah, peningkatan pembangunan, dan peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Pemekaran Kabupaten bulungan ini di pelopori oleh RA Besing yang pada saat itu menjabat sebagai Bupati Bulungan.

Pada tahun 1999, pemerintah pusat memberlakukan otonomi daerah dengan didasari Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Nah, dgn dasar inilah dilakukan pemekaran pada Kabupaten Bulungan menjadi 2 kabupaten baru lainnya yaitu Kabupaten Nunukan dan kabupaten Malinau.

Pemekaran Kabupaten ini secara hukum diatur dalam UU Nomor 47 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Nunukan, Kabupaten Malinau, Kabupaten Kutai Timur, Kabupaten Kutai Barat, dan Kota Bontang pada tanggal 4 Oktober 1999. Dan dengan dasar UU Nomor 47 tahun 1999 tersebut Nunukan Resmi menjadi Kabupaten dengan dibantu 5 wilayah administratif yakni Kecamatan Lumbis, Sembakung, Nunukan, Sebatik dan Krayan.


Pemekaran kabupaten

Pada tanggal 17 Juli 2007, dalam Sidang Paripurna DPR RI telah disetujui pembentukan kabupaten baru yaitu Kabupaten Tana Tidung, yang merupakan pemekaran dari wilayah Nunukan dan Bulungan. Dari Nunukan, kecamatan Sembakung dipindahkan menjadi wilayah kabupaten baru tersebut, sedangkan dari Bulungan, dipindahkan tiga kecamatan, yaitu Sesayap, Sesayap Hilir dan Tanah Lia.


Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Nunukan

Sumber Gambar :
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjJJRZZSNci65yN0-YD6DEIQqJkilH4whr-wXjj0RSjdvuy24-1FcCxbVoU-E0pHFW_HlReubvYpQYytpVQVLkb6o0Xj2XKeeMEdOL97nYJn9GWXxluIIHfEN-o1nlv288AYOkQ7hM5mY8/s1600/Abangboyc+Pelabuhan+Nunukan.jpg

http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Nunukan

Kabupaten Tana Tidung, Kabupaten Termuda di Kaltim

Kabupaten Tana Tidung adalah salah satu Kabupaten di provinsi Kalimantan Timur, Indonesia yang baru disetujui pembentukannya pada Sidang Paripurna DPR RI pada tanggal 17 Juli 2007, dimana disetujui pembentukan kabupaten/kota baru sebanyak 14 di seluruh Indonesia. Kabupaten ini merupakan pemekaran dari 3 wilayah kecamatan di Kabupaten Bulungan yakni Kecamatan Sesayap, Sesayap Hilir dan Tanah Lia.

Mencuatnya nama sebuah kabupaten baru yaitu Kabupaten Tana Tidung, adalah hasil dari sebuah deklarasi yang dilakukan sejumlah tokoh masyarakat dari sejumlah kecamatan di Kabupaten Nunukan dan Kabupaten Bulungan.

Deklarasi yang sekaligus pembentukan presidium untuk memperjuangkan KTT, waktu itu dilaksanakan pada tanggal 28 November 2002 lalu, di Kayan Restoran Hotel Tarakan Plaza. Acara yang dihadiri sekitar 148 tokoh dari berbagai etnis masyarakat Kalimantan Utara itu, berlangsung dengan nuansa budaya yang sangat kental. Mulai dari pantun dalam bahasa Tidung, hingga tarian dan pakaian adat, mewarnai malam pendeklarasian KTT itu.

Tak ketinggalan, sejumlah pejabat pemerintahan dan muspida se Utara turut hadir dalam acara yang tema utamanya adalah mendeklarasikan keinginan masyarakat untuk membentuk sebuah kabupaten baru yang dinamai Kabupaten Tana Tidung.
Dengan hadirnya Kabupaten Tana Tidung ini diharapkan, pembentukan Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) segera diwujudkan oleh Provinsi Kaltim sebagai provinsi induk.

Suku Tidung

Dari berbagai sumber dan literature, Suku Tidung merupakan suku yang tanah asalnya berada di bagian utara Kalimantan Timur. Suku ini juga merupakan anak negeri di Sabah, jadi merupakan suku bangsa yang terdapat di Indonesia maupun Malaysia (negeri Sabah). Suku Tidung semula memiliki kerajaan yang disebut Kerajaan Tidung. Tetapi akhirnya punah karena adanya politik adu domba oleh pihak Belanda.

Bahasa Tidung

Bahasa Tidung dialek Tarakan merupakan bahasa Tidung yang pertengahan karena dipahami oleh semua warga suku Tidung. Beberapa kata bahasa Tidung masih memiliki kesamaan dengan bahasa Kalimantan lainnya. Kemungkinan suku Tidung masih berkerabat dengan suku Dayak rumpun Murut (suku-suku Dayak yang ada di Sabah). Karena suku Tidung beragama Islam dan mengembangkan kerajaan Islam sehingga tidak dianggap sebagai suku Dayak, tetapi dikategorikan suku yang berbudaya Melayu (hukum adat Melayu) seperti suku Banjar, suku Kutai, dan suku Pasir.
Bahasa Tidung termasuk dalam “Kelompok Bahasa Tidung” salah satu bagian dari Kelompok Bahasa Dayak Murut. Kelompok Bahasa Tidung terdiri : Bahasa Tidung (tid), Bahasa Bulungan (blj), Bahasa Kalabakan (kve), Bahasa Murut Sembakung (sbr), Bahasa Murut Serudung (srk)

Persamaan kosakata bahasa Tidung dengan bahasa-bahasa Kalimantan lainnya, misalnya :
matonandow dalam bahasa Tidung sama dengan matanandau ( bahasa Ngaju) artinya matahari.
Kata Bubuan dalam bahasa Tidung sama dengan bubuhan (bahasa Banjar) artinya keluarga, kerabat. Taka dalam bahasa Tidung sama dengan takam (bahasa Maanyan) atau taka (bahasa Pasir) artinya Kita.

Kepala=Utok
Rambut=Abuk
Telinga=Telingo
Hidung=Adung
Pipi =Malo
Mulut =Kabang
Leher =Liog
Perut =Tinay
Tangan =Tendulu
Kaki =Tanog
kuku =Sandop
Paha =Apa
Lutut =Atut
Pinggang=Awak
Dada =Kubab
Bapak =Yama
Ibu =Ina
Nenek =Yadu
Kakek =Yaki
Paman =Yujang
Tante =Yacil
Adik =Yadi
Kakak =Yaka
Keponakan =Yakon
Cucu =Ingkupu
Saudara =Pensulod
Nenek Moyang =Yadu yaki
Ipar =Yangu
Menantu =Anak Iwan
Mertua =Iwan

Kabupaten Tana Tidung,
Ibu kota : Tideng Pale
Luas Wilayah :4.828 km²
Jumlah Penduduk : 28.000 (2007) dengan kepadatan : 5,79 jiwa/km²
Pembagian administratif : 4 Kecamatan.
Terbentuk tanggal : 17 Juli 2007
Pj. Bupati Ir. Zaini Anwar, MM
Suku bangsa Tidung, Berusu

Kesultanan Sulu

Dalam sejarah kesultanan Sulu dikatakan, Sultan Sulu yang bernama Sultan Salahuddin-Karamat atau Pangiran Bakhtiar telah berkawin dengan seorang gadis Tionghoa yang berasal dari daerah Tirun (Tidung). Dan juga karena ingin mengamankan wilayah North-Borneo (Kini Sabah) selepas mendapat wilayah tersebut dari Sultan Brunei, seorang putera Sultan Salahuddin-Karamat yaitu Sultan Badaruddin-I juga telah memperisterikan seorang Puteri Tirun atau Tidung (isteri kedua) yang merupakan anak kepada pemerintah awal di wilayah Tidung. (Isteri pertama Sultan Badaruddin-I, dikatakan adalah gadis dari Soppeng, Sulawesi Selatan. Maka lahirlah Datu Lagasan yang kemudianya menjadi Sultan Sulu bergelar, Sultan Alimuddin-I ibni Sultan Badaruddin-I). Dari zuriat Sultan Alimuddin-I inilah dikatakan datangnya Keluarga Kiram dan Shakiraullah di Sulu.

Maka dari darah keturunan dari Puteri Tidung ini lah seorang putera bernama Datu Bantilan dan seorang puteri bernama Dayang Meria. Datu Bantilan kemudiannya menaiki takhta Kesultanan Sulu (menggantikan abangnya Sultan Alimuddin-I) pada tahun sekitar 1748, bergelar Sultan Bantilan Muizzuddin. Adindanya Dayang Meria dikatakan kawin dengan seorang pedagang Tionghoa, dan kemudiannya melahirkan Datu Teteng atau Datu Tating. Dan dari zuriat Sultan Bantilan Muizzuddin inilah datangnya Keluarga Maharajah Adinda, yang kini merupakan “Pewaris Sebenar” kepada Kesultanan Sulu mengikut Sistem Protokol Kesultanan yang dipanggil “Tartib Sulu”.

Dikatakan juga pewaris sebenar itu bergelar, Duli Yang Maha Mulia (DYMM) Sultan Aliuddin Haddis Pabila. Dan juga dinyatakan bahawa ‘Putera Mahkota’ kesultanan Sulu kini adalah putera bongsu kepada DYMM Sultan Aliuddin yang bernama Duli Yang Teramat Mulia (DYTM) Datu Ali Aman atau digelar juga sebagai “Raja Bongsu-II” (*Gelaran ini mungkin mengambil sempena nama moyang mereka yang bernama Raja Bongsu atau Pengiran Shahbandar Maharajalela, yang merupakan putera-bongsu kepada Sultan Muhammad Hassan dari Brunei. Dikatakan Raja Bongsu ini telah dihantar ke Sulu menjadi Sultan Sulu menggantikan pamannya Sultan Batarasah Tengah Ibnu Sultan Buddiman Ul-Halim yang tiada putera. Ibu Raja Bongsu ini adalah puteri kepada Sultan Pangiran Buddiman Ul-Halim yang berkahwin dengan Sultan Muhammad Hassan).(vb/01/berbagai sumber)


Sumber :
http://www.vivaborneo.com/kabupaten-tana-tidung-kabupaten-termuda-di-kaltim.htm/comment-page-1
6 Desember 2008

Profil Kabupaten Penajam Paser Utara

Kabupaten Penajam Paser Utara merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Kalimantan Timur, secara geografis terletak antara 00o48 29 - 01o36 37 LS dan antara 116o19 30 - 116o56 35 BT, berbatasan dengan Kabupaten Kutai Negara di utara, Kota Balikpapan dan Selat Makasar di timur, Kabupaten Pasir dan Selat Makasar di selatan, dan Kabupaten Pasir dan Kaupaten Kutai Barat di barat. Luas wilayah daerah ini 3.333,06 Km2.

Secara administratif, daerah ini terbagi menjadi empat kecamatan sembilan Desa. Benuo Taka yang artinya daerah kita atau kampung halaman kita adalah kata semboyan daerah Kabupaten Penajam Paser Utara yang bermakna bahwa Kabupaten Penajam Paser Utara terdiri dari berbagai suku, ras, agama dan budaya namun tetap merupakan satu kesatuan ikatan kekeluargaan.

Kabupaten ini memiliki keunggulan karena letak geografisnya. Posisinya dalam jalur perlintasan yang menghubungkan Kaltim dengan Kalsel dan Kalteng. Kegiatan perhubungan darat dan air meningkat oleh ramainya mobilitas manusia dan barang dengan lapangan usaha utama penduduknya adalah perdagangan. Perdagangan ini diperkuat oleh kegiatan pertanian dan diuntungkan karena menjadi daerah transit dengan keberadaan pelabuhan penyeberangan di Penajam.

Di sektor pertanian, daerah ini dikenal sebagai salah satu lumbung beras di Kalimantan Timur, serta penghasil sayur-sayuran dan buah-buahan karena tanah disini subur dan cocok untuk tanaman pangan karena berada pada jalur Pegunungan Meratus. Pada sektor perkebunan, juga memberi andil dalam penyediaan lapangan kerja bagi penduduk. Setidaknya, lima perusahaan swasta bergerak dalam penanaman kelapa sawit. Di luar lahan yang dikelola perusahaan swasta, juga ada perkebunan rakyat dan kebun baru yang akan dibuka menggunakan pola kemitraan rakyat dengan investor. Untuk kegiatan industri di daerah ini, beberapa perusahaan besar beroperasi di sini, antara lain perusahaan kehutanan, seperti pabrik kayu lapis dan pabrik bahan baku kertas.

Dari struktur perekonomian, rantai ekonomi di kabupaten ini terpetakan pada dua pola. Pertama, hasil bumi yang tidak memerlukan pengolahan langsung menjadi komoditas perdagangan. Kedua, hasil-hasil pertanian, seperti kelapa sawit dan kayu, yang harus melewati proses pengolahan di pabrik baru dilepas ke pasaran. Daerah ini juga memiliki berbagai sarana dan prasarana penunjang diantaranya jalan darat, serta dukungan sarana pembangkit tenaga listrik, air brsih, gas dan jaringan telekomunikasi.


Sumber Data:
Kalimantan Timur Dalam Angka 2007
(01-8-2007)
BPS Provinsi Kalimantan Timur
Jl. Kemakmuran No. 4. Samarinda 75117
Telp (0541) 743372
Fax (0541) 201121


Sumber :
http://regionalinvestment.com/sipid/id/displayprofil.php?ia=6409

Sekilas Tentang Kabupaten Paser


Kabupaten Paser merupakan wilayah Propinsi Kalimantan Timur yang terletak paling selatan, tepatnya pada posisi 00 45'18,37" - 20 27'20,82" LS dan 1150 36'14,5" -1660 57'35,03" BT. Kabupaten Paser terletak pada ketinggian yang berkisar antara 0 - 500 m di atas permukaan laut. Di sebelah utara, Kabupaten Paser berbatasan dengan Kabupaten Kutai Barat, di sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Penajam Paser Utara dan Selat Makasar, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Kota Baru, Propinsi Kalimantan Selatan, serta di sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Tabalong, Propinsi Kalimantan Selatan.

Luas Wilayah Kabupaten Paser saat ini adalah 11.603,94 km2, terdiri dari 10 Kecamatan dengan 106 buah Desa/Kelurahan dan empat buah UPT (Unit Pemukiman Transmigrasi), serta dengan jumlah penduduk pada tahun 2003 mencapai 172.608 jiwa, atau memiliki kepadatan penduduk 15 jiwa/Km2. Kecamatan dengan wilayah terluas di Kabupaten Paser adalah Kecamatan Long Kali, dengan luas wilayah 2.385,39 km2, termasuk di dalamnya luas daerah lautan yang mencapai 20,50 persen dari luas wilayah Kabupaten Paser secara keseluruhan, sedangkan kecamatan yang luas wilayahnya terkecil adalah Kecamatan Tanah Grogot, yang mencapai 33,58 Km2 atau 2,89 persen.

Dari segi konstelasi regional, Kabupaten Paser berada di sebelah Selatan Propinsi Kalimantan Timur. Posisinya dilintasi oleh jalan arteri primer (jalan negara/nasional) yang menghubungkan Propinsi Kalimantan Timur dengan Kalimantan Selatan. Pada bagian timur Kabupaten Paser melintang selat Makassar, yang dimasa yang akan datang memiliki prospek dan fungsi penting sebagai jalur alternatif pelayaran internasional. Pelabuhan laut utama di Kabupaten Paser, yaitu Pelabuhan Teluk Adang terletak 12 Km ke arah utara ibukota Kabupaten (Kota Tanah Grogot), sedangkan Kota Tanah Grogot berjarak lebih kurang 145 Km dari Kota Balikpapan, atau 260 Km dari Ibukota Propinsi Kalimantan Timur (Kota Samarinda).

Kabupaten paser awalnya adalah Kabupaten Pasir sebagai daerah otonomi Kalimantan Timur yang pengesahannya berdasarkan UU Nomor 27 Tahun 1959 tentang Penetapan UU Darurat Nomor 3 Tahun 1953 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Kalimantan, dengan sebutan Daerah Swatantra Tingkat II Pasir. Sebelum UU 27 Tahun 1959 ditetapkan, daerah Pasir berbentuk kewedanaan yang berada dalam wilayah Kabupaten Kotabaru Kalimantan Selatan berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri yang dikeluarkan di Yogyakarta pada tanggal 29 Juni 1959 Nomor C-17/15/3 yang bersifat sementara, dan Penetapan Gubernur Kalimantan Timur tanggal 14 Agustus 1950 Nomor 186/OPB/92/14.

Lahirnya UU Nomor 27 tahun 1959 tanggal 29 Desember 1959 memberikan momentum yang sangat penting yakni terlepasnya kewedanaan Batu Besar dari wilayah daerah Swatantra Tingkat II Pasir dan dimasukkan ke dalam wilayah Kabupaten Kotabaru Kalimantan Selatan. Pada tanggal 3 Agustus 1961 Daerah Swatantra Tingkat II Pasir dimasukkan ke dalam Wilayah Kal;imantan Timur. Pada tanggal 29 Desember 1961 dilaksanakanlah serah terima oleh Gubernur Kepala Daerah Swatantra Tingkat I Kalimantan Selatan H.Maksid kepada Gubernur Kepala Daerah Swatantra Tingkat I Kalimantan Timur APT. Pranoto di Departemen Dalam Negeri – Jakarta.

Melalui perjuangan Bupati Paser HM.Ridwan Suwidi dan Wakil HM.Hatta Garit Kabupaten Pasir berubah menjadi Kabupaten Paser yang ditandai dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2007.


Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Paser

Pesona Wisata dan Budaya Malinau


Selama ini dunia intenasional hanya mengenal Bali sebagai salah satu tujuan utama pariwisata mereka. Padahal Indonesia tidak hanya Bali, masih banyak tempat-tempat lain yang memilki keindahan alam yang tak kalah cantiknya dengan Bali.

Salah satu derah yang juga tak kalah eksotisnya adalah, Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur. Malinau merupakan kabupaten terbesar di Kalimantan Timur dan berbatasan langsung dengan Serawak, Malaysia.

Untuk memperkenalkan keindahan alam yang ada di Malinau kepada masyarakat luas, Pemerintah daerah kabupaten Malinau, Minggu ( 28/6 )menggelar pesona wisata dan kebudayaan Kabupaten Malinau, di Anjungan Kalimantan Timur, Taman Mini Indonesia Indah.

M. Peter Yadi, PLT Kabag Humas dan Protokol Pemda Kabupaten Malinau, menerangkan, acara tersebut juga sejalan dengan program pemda Kalimantan Timur yang belum lama ini mencanangkan Visit East Borneo.

"Dalam acara ini, akan ditampilkan tari-tarian khas Malinau yang kesemua penarinya didatangkan langsung dari Malinau. Selain itu, ada juga stan yang menjual produk-produk khas Malinau, seperti tas rajutan, keripik buah, sampai madu asli Malinau," terang Peter, saat di temui di Ajungan Kalimantan Timur, TMII, Jakarta, Minggu ( 28/6 ). Pada pagelaran tersebut, hadir juga Bupati Malinau, Martin Bila , dan beberapa Duta Besar dari negara sahabat.

Acara tersebut juga dimaksudkan untuk memperkenalkan berbagai pariwisata alam yang dimiliki oleh kabupaten Malinau, seperti arus liar yang ada di sungai sungai tugu dan sungai Bahaowulu, air terjun Martin Bila, air panas Semolon. "Masyarakat dapat melihat rumah adat asli dari masyarakat Malinau atau biasa di sebut Lamin Adat. Ada juga kuburan batu yang sudah ada beratus-ratus tahun lalu," ujarnya.

Selain itu, kata Peter, karena Malinau satu-satu kabupaten yang memproklamirkan diri sebagai kapubaten konservasi, dengan demikian wisatawan dapat menikmati berbagai kekayaan flora dan fauna yang tidak dimiliki daerah lain. "Ada juga tempat penelitian laut Birai, tempat penelitian flora dan fauan Kain mentarang," terangnya.

Peter menerangkan untuk saat ini, jumlah wisatawan yang datang masih sangat sedikit. "Kebanyakan adalah peneliti asing, sekitar 20 orang pertahun. Sedangkan untuk wisatan domestik lebih sedikit lagi," ujarnya.

Hal tersebut, lanjutnya, disebabkan membutuhkan waktu yang lama untuk sampai di Malinau, terlebih jika melalui jalur darat. "Kalau dari bandara Internasional di Balik Papan, kita harus transit dulu di Tarakan baru melanjutkan dengan pesawat kecil. Kalau melalui jalur darat, dari ibu kota propinsi butuh waktu 24 jam. Dan itu juga harus menggunakan jalur off road," lontar dia.

Dengan digelarnya acara ini, Peter mewakili Pemda Kabupaten Malinau berharap, semakin banyak pengunjung yang datang ke Malinau, ia juga menghimbau agar pemerintah pusat lebih memperhatikan kekayaan yang ada di Malinau. "Malinau mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, jika dieksplorasi lagi akan banyak membawa keuntungan bagi banyak pihak," tandasnya.


Sumber :
http://travel.kompas.com/read/2009/06/28/11445767/pesona.wisata.dan.budaya.malinau
26 Juni 2009
Foto : Rosdianah Dewi

Pariwisata Kutai Timur

Taman Nasional Kutai

Taman Nasional Kutai merupakan salah satu objek andalan Kabupaten Kutai Timur. TNK memiliki potensi kekayaan flora dan fauna, termasuk diantaranya hewan dan tumbuhan langka yang dilindungi, seperti orang utan, bekantan, dan berbagai anggrek hutan. Di TNK ini terdapat berbagai tipe vegetasi utama seperti hutan pantai, hutan mangrove, hutan rawa air tawar, hutan kerangas, dan hutan campuran. Di kawasan ini juga terdapat perwakilan hutan ulin terluas di Indonesia. Dengan potensi kekayaan sumber daya alamnya, TNK menawarkan daya tarik alam baik untuk kegiatan pariwisata alam maupun penelitian dan pendidikan. Untuk sampai ke lokasi Taman Nasional Kutai (TNK) dapat dilakukan dari Samarinda - Bontang melalui jalur darat lebih kurang sekitar 125 km dan meneruskan perjalanan dengan menggunakan perahu motor menuju Teluk Kaba yang memakan waktu lebih kurang 2 jam.
Info Lengkap: http://www.tn-kutai.or.id


PT. Kaltim Prima Coal

PT. KPC merupakan perusahaan pertambangan batubara terbesar di Indonesia yang berada di Sangatta. Selain berfungsi sebagai penambangan batu bara tempat ini juga dapat manjadi daya tarik wisata atau ilmiah yang menawarkan kegiatan penambangan batubara, dengan daya tarik sejarah penemuan batubara, penggalian batubara pertama yang masih tradisional, hingga pendirian pabrik.


Pantai Teluk Lombok dan Teluk Perancis

Pantai Teluk Lombok dan Teluk Perancis terletak tidak jauh dari kota Sangatta yang merupakan ibukota Kabupaten Kutai Timur. Tempat ini dapat dicapai dengan menggunakan jalur darat dari Sangatta sekitar 15 km menyusur pantai timur Kutai Timur. Pemandangan pantai dan laut menjadi daya tarik utama tempat ini, ditambah dengan lokasinya yang tidak terlalu jauh dari kota, diharapkan dapat menjadi tempat berwisata bagi penduduk kota Sangatta.


Gua Kombeng

Gua Kombeng adalah sebuah gua bekas peninggalan kerajaan Kutai Hindu. Didalam gua yang memiliki ruangan yang cukup besar ini terdapat patung-patung batu atau arca-arca Hindu. Untuk mencapai gua ini harus melakukan perjalanan selama kurang lebih 6 jam dari Muara Wahau dengan menggunakan kapal kecil.


Long Segar dan Long Noran

Kedua desa ini bertetangga dan termasuk dalam Kecamatan Muara Wahau. Terletak di tepi Sungai Wahau, untuk mengunjunginya dapat dicapai dengan kapal sungai dari Samarinda ke long Noran atau Long Segar. Mayoritas penduduk desa ini berasal dari suku Apo Kayan. Desa ini kaya akan daya tarik seni budaya dan kerajinan seperti Mandau, patung dan lain-lain. Di desa ini sudah tersedia fasilitas akomodasi berupa lamin (rumah tradisional suku Dayak) untuk para wisatawan.


Pulau Birah-Birahan

Terletak di kecamatan Sangkulirang, pulau ini dapat dicapai dengan menggunakan kapal motor cepat dari Sangatta atau Benua Baru, Sangkulirang. Pulau Birah-birahan selain memiliki keindahan pemandangan laut juga memiliki keindahan alam bawah lautnya, seperti taman laut dengan keanekaragaman karang laut yang indah, dan ikan hias yang beraneka ragam


Gemar Baru

Gemar Baru merupakan desa 'resettlement' bagi masyarakat suku Dayak Kenyah yang terdapat di Kecamatan Muara Ancalong, Kutai Timur. Di desa ini dapat disaksikan Balai Adat suku Dayak Kenyah, upacara-upacara adat, tari-tarian dan kehidupan sehari-hari masyarakat setempat. Desa ini terletak sekitar 88 mil dari Tenggarong dan dapat dicapai dengan menggunakan kapal motor menyusuri Sungai Mahakam kemudian masuk ke Sungai Kedang Kepala.


Tanjung Manis

Seperti di Desa Gemar Baru, di Desa Tanjung Manis juga dapat ditemui sebuah Lamin suku Dayak Kenyah Umaq Tau. Disini dapat disaksikan kehidupan sehari-hari masyarakat suku Dayak Kenyah, upacara-upacara adat, dan tari-tarian dari masyarakat setempat.
Penari Hudoq


Long Bentuk

Berbeda dengan desa Gemar Baru dan Tanjung Manis, di desa Long Bentuk dapat disaksikan kehidupan masyarakat suku Dayak Bahau. Pakaian, ornamen, dan kesenian tradisional suku Dayak Bahau berbeda jauh dengan suku Dayak Kenyah. Salah satu tarian terkenal dari masyarakat suku Dayak Bahau adalah tari Hudoq, yakni tarian yang menggunakan daun pisang atau daun pinang sebagai penutup tubuh penari dan penggunaan topeng kayu yang menyerupai binatang.

Lebih Lengkap Tentang Kutai Timur:
>> http://www.kutaitimur.go.id


Sumber :
http://www.kutaikartanegara.com/wisata/kutaitimur.html

Sejarah Kesultanan Kutai Kartanegara

Ditinjau dari sejarah Indonesia kuno, Kerajaan Kutai merupakan kerajaan tertua di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya 7 buah prasasti yang ditulis diatas yupa (tugu batu) yang ditulis dalam bahasa Sansekerta dengan menggunakan huruf Pallawa. Berdasarkan paleografinya, tulisan tersebut diperkirakan berasal dari abad ke-5 Masehi.

Dari prasasti tersebut dapat diketahui adanya sebuah kerajaan dibawah kepemimpinan Sang Raja Mulawarman, putera dari Raja Aswawarman, cucu dari Maharaja Kudungga. Kerajaan yang diperintah oleh Mulawarman ini bernama Kerajaan Kutai Martadipura, dan berlokasi di seberang kota Muara Kaman.

Pada awal abad ke-13, berdirilah sebuah kerajaan baru di Tepian Batu atau Kutai Lama yang bernama Kerajaan Kutai Kartanegara dengan rajanya yang pertama, Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325).

Dengan adanya dua kerajaan di kawasan Sungai Mahakam ini tentunya menimbulkan friksi diantara keduanya. Pada abad ke-16 terjadilah peperangan diantara kedua kerajaan Kutai ini. Kerajaan Kutai Kartanegara dibawah rajanya Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa akhirnya berhasil menaklukkan Kerajaan Kutai Martadipura. Raja kemudian menamakan kerajaannya menjadi Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura.

Pada abad ke-17 agama Islam diterima dengan baik oleh Kerajaan Kutai Kartanegara. Selanjutnya banyak nama-nama Islami yang akhirnya digunakan pada nama-nama raja dan keluarga kerajaan Kutai Kartanegara. Sebutan raja pun diganti dengan sebutan Sultan. Sultan yang pertama kali menggunakan nama Islam adalah Sultan Aji Muhammad Idris (1735-1778).

Tahun 1732, ibukota Kerajaan Kutai Kartanegara pindah dari Kutai Lama ke Pemarangan.

Perpindahan ibukota Kerajaan Kutai Kartanegara dari Kutai Lama (1300-1732) ke Pemarangan (1732-1782) kemudian pindah ke Tenggarong (1782-kini).

Sultan Aji Muhammad Idris yang merupakan menantu dari Sultan Wajo Lamaddukelleng berangkat ke tanah Wajo, Sulawesi Selatan untuk turut bertempur melawan VOC bersama rakyat Bugis. Pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara untuk sementara dipegang oleh Dewan Perwalian.

Pada tahun 1739, Sultan A.M. Idris gugur di medan laga. Sepeninggal Sultan Idris, terjadilah perebutan tahta kerajaan oleh Aji Kado. Putera mahkota kerajaan Aji Imbut yang saat itu masih kecil kemudian dilarikan ke Wajo. Aji Kado kemudian meresmikan namanya sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan menggunakan gelar Sultan Aji Muhammad Aliyeddin.

Setelah dewasa, Aji Imbut sebagai putera mahkota yang syah dari Kesultanan Kutai Kartanegara kembali ke tanah Kutai. Oleh kalangan Bugis dan kerabat istana yang setia pada mendiang Sultan Idris, Aji Imbut dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin. Penobatan Sultan Muslihuddin ini dilaksanakan di Mangkujenang (Samarinda Seberang). Sejak itu dimulailah perlawanan terhadap Aji Kado.

Perlawanan berlangsung dengan siasat embargo yang ketat oleh Mangkujenang terhadap Pemarangan. Armada bajak laut Sulu terlibat dalam perlawanan ini dengan melakukan penyerangan dan pembajakan terhadap Pemarangan. Tahun 1778, Aji Kado meminta bantuan VOC namun tidak dapat dipenuhi.

Pada tahun 1780, Aji Imbut berhasil merebut kembali ibukota Pemarangan dan secara resmi dinobatkan sebagai sultan dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin di istana Kesultanan Kutai Kartanegara. Aji Kado dihukum mati dan dimakamkan di Pulau Jembayan.

Aji Imbut gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin memindahkan ibukota Kesultanan Kutai Kartanegara ke Tepian Pandan pada tanggal 28 September 1782. Perpindahan ini dilakukan untuk menghilangkan pengaruh kenangan pahit masa pemerintahan Aji Kado dan Pemarangan dianggap telah kehilangan tuahnya. Nama Tepian Pandan kemudian diubah menjadi Tangga Arung yang berarti Rumah Raja, lama-kelamaan Tangga Arung lebih populer dengan sebutan Tenggarong dan tetap bertahan hingga kini.

Pada tahun 1838, Kesultanan Kutai Kartanegara dipimpin oleh Sultan Aji Muhammad Salehuddin setelah Aji Imbut mangkat pada tahun tersebut.

Pada tahun 1844, 2 buah kapal dagang pimpinan James Erskine Murray asal Inggris memasuki perairan Tenggarong. Murray datang ke Kutai untuk berdagang dan meminta tanah untuk mendirikan pos dagang serta hak eksklusif untuk menjalankan kapal uap di perairan Mahakam. Namun Sultan A.M. Salehuddin mengizinkan Murray untuk berdagang hanya di wilayah Samarinda saja. Murray kurang puas dengan tawaran Sultan ini. Setelah beberapa hari di perairan Tenggarong, Murray melepaskan tembakan meriam kearah istana dan dibalas oleh pasukan kerajaan Kutai. Pertempuran pun tak dapat dihindari. Armada pimpinan Murray akhirnya kalah dan melarikan diri menuju laut lepas. Lima orang terluka dan tiga orang tewas dari pihak armada Murray, dan Murray sendiri termasuk diantara yang tewas tersebut.

Insiden pertempuran di Tenggarong ini sampai ke pihak Inggris. Sebenarnya Inggris hendak melakukan serangan balasan terhadap Kutai, namun ditanggapi oleh pihak Belanda bahwa Kutai adalah salah satu bagian dari wilayah Hindia Belanda dan Belanda akan menyelesaikan permasalahan tersebut dengan caranya sendiri. Kemudian Belanda mengirimkan armadanya dibawah komando t'Hooft dengan membawa persenjataan yang lengkap. Setibanya di Tenggarong, armada t'Hooft menyerang istana Sultan Kutai. Sultan A.M. Salehuddin diungsikan ke Kota Bangun. Panglima perang kerajaan Kutai, Awang Long gelar Pangeran Senopati bersama pasukannya dengan gagah berani bertempur melawan armada t'Hooft untuk mempertahankan kehormatan Kerajaan Kutai Kartanegara. Awang Long gugur dalam pertempuran yang kurang seimbang tersebut dan Kesultanan Kutai Kartanegara akhirnya kalah dan takluk pada Belanda.

Pada tanggal 11 Oktober 1844, Sultan A.M. Salehuddin harus menandatangani perjanjian dengan Belanda yang menyatakan bahwa Sultan mengakui pemerintahan Hindia Belanda dan mematuhi pemerintah Hindia Belanda di Kalimantan yang diwakili oleh seorang Residen yang berkedudukan di Banjarmasin.

Tahun 1846, H. von Dewall menjadi administrator sipil Belanda yang pertama di pantai timur Kalimantan.

Pada tahun 1850, Sultan A.M. Sulaiman memegang tampuk kepemimpinan Kesultanan Kutai kartanegara Ing Martadipura.

Pada tahun 1853, pemerintah Hindia Belanda menempatkan J. Zwager sebagai Assisten Residen di Samarinda. Saat itu kekuatan politik dan ekonomi masih berada dalam genggaman Sultan A.M. Sulaiman (1850-1899).

Pada tahun 1863, kerajaan Kutai Kartanegara kembali mengadakan perjanjian dengan Belanda. Dalam perjanjian itu disepakati bahwa Kerajaan Kutai Kartanegara menjadi bagian dari Pemerintahan Hindia Belanda.

Tahun 1888, pertambangan batubara pertama di Kutai dibuka di Batu Panggal oleh insinyur tambang asal Belanda, J.H. Menten. Menten juga meletakkan dasar bagi ekspoitasi minyak pertama di wilayah Kutai. Kemakmuran wilayah Kutai pun nampak semakin nyata sehingga membuat Kesultanan Kutai Kartanegara menjadi sangat terkenal di masa itu. Royalti atas pengeksloitasian sumber daya alam di Kutai diberikan kepada Sultan Sulaiman.

Tahun 1899, Sultan Sulaiman wafat dan digantikan putera mahkotanya Aji Mohammad dengan gelar Sultan Aji Muhammad Alimuddin.
A.P. Mangkunegoro

Pada tahun 1907, misi Katholik pertama didirikan di Laham. Setahun kemudian, wilayah hulu Mahakam ini diserahkan kepada Belanda dengan kompensasi sebesar 12.990 Gulden per tahun kepada Sultan Kutai Kartanegara.

Sultan Alimuddin hanya bertahta dalam kurun waktu 11 tahun saja, beliau wafat pada tahun 1910. Berhubung pada waktu itu putera mahkota Aji Kaget masih belum dewasa, tampuk pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara kemudian dipegang oleh Dewan Perwalian yang dipimpin oleh Aji Pangeran Mangkunegoro.

Pada tanggal 14 Nopember 1920, Aji Kaget dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan Aji Muhammad Parikesit.

Sejak awal abad ke-20, ekonomi Kutai berkembang dengan sangat pesat sebagai hasil pendirian perusahaan Borneo-Sumatra Trade Co. Di tahun-tahun tersebut, kapital yang diperoleh Kutai tumbuh secara mantap melalui surplus yang dihasilkan tiap tahunnya. Hingga tahun 1924, Kutai telah memiliki dana sebesar 3.280.000 Gulden - jumlah yang sangat fantastis untuk masa itu.

Tahun 1936, Sultan A.M. Parikesit mendirikan istana baru yang megah dan kokoh yang terbuat dari bahan beton. Dalam kurun waktu satu tahun, istana tersebut selesai dibangun.

Ketika Jepang menduduki wilayah Kutai pada tahun 1942, Sultan Kutai harus tunduk pada Tenno Heika, Kaisar Jepang. Jepang memberi Sultan gelar kehormatan Koo dengan nama kerajaan Kooti.

Indonesia merdeka pada tahun 1945. Dua tahun kemudian, Kesultanan Kutai Kartanegara dengan status Daerah Swapraja masuk kedalam Federasi Kalimantan Timur bersama-sama daerah Kesultanan lainnya seperti Bulungan, Sambaliung, Gunung Tabur dan Pasir dengan membentuk Dewan Kesultanan. Kemudian pada 27 Desember 1949 masuk dalam Republik Indonesia Serikat.

Daerah Swapraja Kutai diubah menjadi Daerah Istimewa Kutai yang merupakan daerah otonom/daerah istimewa tingkat kabupaten berdasarkan UU Darurat No.3 Th.1953.

Pada tahun 1959, berdasarkan UU No. 27 Tahun 1959 tentang "Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II di Kalimantan", wilayah Daerah Istimewa Kutai dipecah menjadi 3 Daerah Tingkat II, yakni:
1. Daerah Tingkat II Kutai dengan ibukota Tenggarong
2. Kotapraja Balikpapan dengan ibukota Balikpapan
3. Kotapraja Samarinda dengan ibukota Samarinda

Pada tanggal 20 Januari 1960, bertempat di Gubernuran di Samarinda, A.P.T. Pranoto yang menjabat sebagai Gubernur Kalimantan Timur, dengan atas nama Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia melantik dan mengangkat sumpah 3 kepala daerah untuk ketiga daerah swatantra tersebut, yakni:
1. A.R. Padmo sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kutai
2. Kapt. Soedjono sebagai Walikota Kotapraja Samarinda
3. A.R. Sayid Mohammad sebagai Walikota Kotapraja Balikpapan

Sehari kemudian, pada tanggal 21 Januari 1960 bertempat di Balairung Keraton Sultan Kutai, Tenggarong diadakan Sidang Khusus DPRD Daerah Istimewa Kutai. Inti dari acara ini adalah serah terima pemerintahan dari Kepala Kepala Daerah Istimewa Kutai, Sultan Aji Muhammad Parikesit kepada Aji Raden Padmo sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kutai, Kapten Soedjono (Walikota Samarinda) dan A.R. Sayid Mohammad (Walikota Balikpapan). Pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara dibawah Sultan Aji Muhammad Parikesit berakhir, dan beliau pun hidup menjadi rakyat biasa.

Pada tahun 1999, Bupati Kutai Kartanegara Drs. H. Syaukani HR, MM berniat untuk menghidupkan kembali Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura. Dikembalikannya Kesultanan Kutai ini bukan dengan maksud untuk menghidupkan feodalisme di daerah, namun sebagai upaya pelestarian warisan sejarah dan budaya Kerajaan Kutai sebagai kerajaan tertua di Indonesia. Selain itu, dihidupkannya tradisi Kesultanan Kutai Kartanegara adalah untuk mendukung sektor pariwisata Kalimantan Timur dalam upaya menarik minat wisatawan nusantara maupun mancanegara.

Pada tanggal 7 Nopember 2000, Bupati Kutai Kartanegara bersama Putera Mahkota Kutai H. Aji Pangeran Praboe Anoem Soerja Adiningrat menghadap Presiden RI Abdurrahman Wahid di Bina Graha Jakarta untuk menyampaikan maksud diatas. Presiden Wahid menyetujui dan merestui dikembalikannya Kesultanan Kutai Kartanegara kepada keturunan Sultan Kutai yakni putera mahkota H. Aji Pangeran Praboe.

Pada tanggal 22 September 2001, Putra Mahkota Kesultanan Kutai Kartanegara, H. Aji Pangeran Praboe Anoem Soerya Adiningrat dinobatkan menjadi Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan H. Aji Muhammad Salehuddin II. Penabalan H.A.P. Praboe sebagai Sultan Kutai Kartanegara baru dilaksanakan pada tanggal 22 September 2001. (KutaiKartanegara.com)


Sumber :
http://www.kutaikartanegara.com/

Nasib Anggrek Hitam di Kabupaten Kutai Barat


Paradigma baru dalam pembangunan kehutanan mengalami pergeseran orintasi, yang semula ditekankan pada hasil hutan kayu menjadi hasil hutan non kayu. Berbagai produk kayu dihasilkan hutan, antaranya adalah pemanfaatan tumbuhan hutan sebagai obat, jasa hutan sebagai penyerap karbon, kegiatan ekowisata, dan produk dari kegiatan perlebahan serta tanaman hias, salah satu yang dibudidayakan keberadaannya yakni anggrek .

Anggrek merupakan tanaman hias yang mempesona dan indah untuk dinikmati sebagai ciptaan Tuhan. Berbicara anggrek dikalimantan Timur, pasti kita akan menunjuk Kabupaten Kutai Barat yang mempunyai tanaman anggrek yang indah dan cantik, yakni anggrek hitam .

Anggrek hitam atau Coelogyne pandurata lindl merupakan salah satu jenis anggrek alam yang hanya tumbuh di daerah tertentu, keindahan dan keunikan anggrek hitam telah dijadikan maskot kalimantan timur

Untuk menjaga dan melastarikan keberadaan spesia anggrek hitam, yang hanya tumbuh dan berkembangbiak dikabupaten Kutai barat . Seiring dengan waktu kian hari keberadaan anggrek hitam makin punah akibat ulah manusia berupa: illegal logging, illegal maning, alih fungsi lahan untuk perkebunan sawit, maka pemerintah daerah Kabupaten Kutai Barat melakukan upaya reboisasi ulang dengan memperbaiki infrastruktur dan pengelolaan pada Taman Kersik Luway.

Taman kersih luway Kabupaten Kutai Barat merupakan taman yang unik, keberadaanya yang berada dipadang pasir ditengah-tengah hutan tropis. Pada zaman dulu tempat ini menjadi objek pemujaan masyarakat dayak. Taman Kersih Luway dianggap sebagai tempat suci dan disakral bagi suku dayak sampai sekarang, hal ini berkaiatan dengan kepercayaan bahwa anggrek hitam yang tumbuh disana sebagai tumbuhan yang sakralkan bagi masyarakat setempat. Jika mengambil anggrek hitam yang ada Taman tersebut, justru sebagai suatu pelanggaran hukum adat yang sulit diampuni, dan sanksinya berat. Anggrek hitam telah menjadi bagian hidup dan kehidupan bagi masyarakat dayak Tunjung dan dayak Benuaq,.

Namun akibat kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun telah mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya sehingga perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang sungguh-sungguh dan konsisten oleh semua pemangku kepentingan di daerah. Isu pemanasan global yang semakin meningkat mengakibatkan perubahan iklim, dan ulah manusia dalam mengeskpoiltasi sumber daya hutan secara berlebihan, keanekaragaragaman hayati yang unik, akan hilang dan punah, tidak terkecuali nasib anggrek hitam yang hanya akan tinggal cerita.

Keindahan anggrek hitam yang tidak seindah nasibnya kini, perlu adanya upaya membangun kesadaran setiap orang terhadap lingkungan hidupnya dan upaya penyalamatan terhadap kekayaan keanekaragama hayati kita. Membuat sesuatu perubahan yang kecil dalam pola pikir masyarakat dan birokrat kita untuk menghasilkan sesuatu besar seperti yang telah lakukan pada tahun 1962 dengan terbitnya buku ” The Silent Spring” atau musim semi yang sunyi karangan Rachel Carson telah mempunyai pengaruh yang besar terhadap kesadaran lingkungan hidup didunia,

Dalam bab 1 bukunya itu Carson bercerita tentang hari depan, antara lain penyakit misterius yang telah menyerang ayam, sapi, dan domba. Hewan-hewan tersebut sakit dan mati, semua orang bicara kematian baik petani, dokter yang menangani masalah tersebut. Kematian yang tiba-tiba tidak dapat diterangkan penyebabnya, terjadi tidak hanya terhadap orang-orang dewasa saja namun terjadi juga pada anak-anak yang tiba-tiba menjadi sakit waktu bermain dan meninggal dalam beberapa jam saja.

Sudah saatnya ini kita membangun suatu komitmen bersama antara pemerintah daerah Kabupaten Kutai Barat, stakeholder dan masyarakat untuk menjaga dan melestarikan anggrek hitam agar tidak punah. Kedepan dengan otonomi daerah yang luas, seyognya pemerintah daerah Kabupaten Kutai Barat secara bijak membuat kebijakan untuk menghentikan segala upaya perusakan hutan di Taman Kersih Luway. Stop illegal logging, stop illegal maning dan stop ijin perkebunan sawit di Kutai Barat.

Tentang penulis:

Siti Kotijah SH MH, dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Samarinda.

Sumber :
http://gagasanhukum.wordpress.com/2010/02/11/nasib-anggrek-hitam-di-kabupaten-kutai-barat/
11 Februari 2010

Sumber Gambar:
http://www.orchidspecies.com/orphotdir/coelogynepandurata.jpg

Pesona Investasi Agraris Bulungan


Kabupaten Bulungan adalah kabupaten yang penuh dengan nuansa agraris. Potensi kabupaten ini terletak pada produksi perekonomiannya yang berfokus pada pertanian, perikanan, peternakan dan kehutanan. Lahan kabupaten Bulungan yang sebagian besar dataran rendah dan perbukitan membuat produktivitas lahan memproduksi komoditas perikanan dan perkebunan semakin meningkat.Perikanan yang cukup luas dimanfaatkan untuk pembudidayaan ikan tangkap udang dan lain-lain.

Aktivitas agraris di kabupaten Bulungan ini memberikan mata pencarian masyarakat yang sebagian besar berprofesi sebagai petani, nelayan, pengusaha hutan dan sebagainya. Pengusahaan komoditas pertanian saja menyerap lebih dari setengah tenaga kerja masyarakat. Kemudian, perkembangan adanya perusahaan swasta yang berada pada sektor ekonomi ini akan memberikan nilai tambah ekonomi yang cukup besar bagi perekonomian daerah.

Perekonomian daerah kabupaten Bulungan ini lebih banyak disokong oleh peningkatan produksi tanaman pangan pertanian, perkebunan dan jumlah produksi peternakan dari tahun ke tahun.

Aktivitas agraris di kabupaten Bulungan ini memberikan mata pencarian masyarakat yang sebagian besar berprofesi sebagai petani, nelayan, pengusaha hutan dan sebagainya. Pengusahaan komoditas pertanian saja menyerap lebih dari setengah tenaga kerja masyarakat. Kemudian, perkembangan adanya perusahaan swasta yang berada pada sektor ekonomi ini akan memberikan nilai tambah ekonomi yang cukup besar bagi perekonomian daerah.

Perekonomian daerah kabupaten Bulungan ini lebih banyak disokong oleh peningkatan produksi tanaman pangan pertanian, perkebunan dan jumlah produksi peternakan dari tahun ke tahun.

Sumber : Pemerintah Kabupaten Bulungan, 2008

Pada tabel diatas, secara riil luas produksi padi mengalami peningkatan dari 9.661 hektar pada tahun 2004 menjadi 9.707 hektar pada tahun 2005. Hal yang sama juga terjadi pada komoditas sayur-sayuran dan holtikultura yang meningkat selama empat kurun waktu terakhir yaitu tahun 2005 terdapat 109 hektar untuk sawi, ketimun 94 hektar, kangkung 99 hektar,dan 169 hektar untuk kacang panjang. Sedangkan produksi perkebunan yang paling tersohor dari kabupaten Bulungan ini adalah produksi kelapa, kopi, kakao dan lada.

Kebudayaan masyarakat Bulungan yang suka beternak dan menjual hasil ternaknya mepengaruhi pendapatan daerah masyarakat Bulungan yang lebih besar. Dengan hasil ternak yang terbesar seperti sapi potong, babi, kambing dan kerbau masing-masing ada yang dimanfaatkan untuk meenuhi kebutuhan domestik, ada juga yang dimanfaatkan untuk keperluan ekspor dan impor kabupaten Bulungan dengan daerah lainnya.

Selain potensi-potensi usaha kabupaten Bulungan dalam bidang pertanian dan peternakan, hasil hutan sebesar 1.386.356,54 hektar juga menjadi lahan usaha yang strategis untuk dimanfaatkan. Fungsi hutan yang sebagian besar dipergunakan sebagai produksi dan produksi terbatas membuat industri perkayuan yang memproduksi barang-barang kebutuhan sehari-hari seperti kursi, meja, lemari menjadi menguntungkan. Banyaknya tenaga kerja yang terserap serta konsumen kayu yang datang dari mana saja menstimulus pendapatan daerah kabupaten Bulungan lebih besar dan menguntungkan. Sedangkan untuk keperluan menjaga stabilitas lingkungan Bulungan akibat industrialisasi, fungsi hutan lindung kabupaten Bulungan dapat menjadi suatu kekuatan hutan yang layak ditawarkan.

Begitu juga dengan hasil perikanan kabupaten Bulungan yang turut mendukung perekonomian daerah. Dengan produksi pada tahun 2005 produksi mencapai 3.515,98 ton, hasil perikanan tangkap dan budidaya perikanan memiliki nilai ekonomi sebesar 31.757 Milyar dan 77.924 Milyar berturut-turut

Kabupaten Bulungan membutuhkan penyegaran investasi dan penarikan investasi secara lebih baik lagi melalui peningkatan produktivitas. Pengadaptasian teknologi yang modern dan dipahami petani serta penggunaan alat tangkap ikan yang canggih akan memberikan produksi yang lebih besar dengan kualitas yang tinggi. Hasil komoditas-komoditas tersebut diperdagangkan baik dalam negeri maupun luar negeri sehingga pendapatan daerah dan pertumbuhan ekonomi daerah dapat meningkat dengan cepat.


Sumber :
Britany Alasen Sembiring
http://beritadaerah.com/artikel.php?pg=artikel_kalimantan&id=4160&sub=Artikel&page=7
20 Oktober 2008