Sabtu, 13 Februari 2010

Kalimantan Timur



Kalimantan Timur adalah Daerah Tingkat I yang berstatus provinsi di Indonesia. Provinsi ini merupakan salah satu dari empat provinsi di Kalimantan.

Kalimantan Timur merupakan provinsi terluas kedua di Indonesia, dengan luas wilayah 245.237,80 km2 atau sekitar satu setengah kali Pulau Jawa dan Madura atau 11% dari total luas wilayah Indonesia. Propinsi ini berbatasan langsung dengan negara tetangga, yaitu Negara Bagian Sabah dan Serawak, Malaysia Timur.


Sejarah

Sebelum kedatangan Belanda terdapat beberapa kerajaan yang berada di Kalimantan Timur, diantaranya adalah Kerajaan Kutai (beragama Hindu), Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura, Kesultanan Pasir, Kesultanan Bulungan.

Propinsi Kalimantan Timur selain sebagai kesatuan administrasi, juga sebagai kesatuan ekologis dan historis. Kalimantan Timur sebagai wilayah administrasi dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956 dengan Gubernurnya yang pertama adalah APT Pranoto.

Sebelumnya Kalimantan Timur merupakan salah satu karesidenan dari Provinsi Kalimantan. Sesuai dengan aspirasi rakyat, sejak tahun 1956 wilayahnya dimekarkan menjadi tiga Provinsi, yaitu Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Barat.


Pembentukan provinsi Kalimantan Timur

Daerah-daerah Tingkat II di dalam wilayah Kalimantan Timur, dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 27 Tahun 1959, Tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Kalimantan (Lembaran Negara Tahun 1955 No.9).

Lembaran Negara No.72 Tahun 1959 terdiri atas:
Kotamadya Samarinda, dengan Kota Samarinda sebagai ibukotanya dan sekaligus sebagai ibukota Provinsi Kalimantan Timur.
Kotamadya Balikpapan, dengan kota Balikpapan sebagai ibukotanya dan merupakan pintu gerbang Kalimantan Timur.
Kabupaten Kutai, dengan ibukotanya Tenggarong
Kabupaten Pasir, dengan ibukotanya Tanah Grogot.
Kabupaten Berau, dengan ibukotanya Tanjung Redeb.
Kabupaten Bulungan, dengan ibukotanya Tanjung Selor.


Pembentukan Kota dan Kabupaten Baru

Berdarkan Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 1981, maka dibentuk Kota Administratif Bontang di wilayah Kabupaten Kutai dan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 1989, maka dibentuk pula Kota Madya Tarakan di wilayah Kabupaten Bulungan. Dalam Perkembangan lebih lanjut sesuai dengan ketentuan di dalam UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah, maka dibentuk 2 Kota dan 4 kabupaten, yaitu :

Kabupaten Kutai Barat, beribukota di Sendawar.
Kabupaten Kutai Timur, beribukota di Sangatta.
Kabupaten Malinau, beribukota di Malinau.
Kabupaten Nunukan, beribukota di Nunukan.
Kota Bontang (peningkatan kota administratif Bontang menjadi kota madya).

Berdasarkan pada Peraturan Pemerintah nomor 8 tahun 2002, maka Kabupaten Pasir mengalami pemekaran dan pemekarannya bernama Kabupaten Penajam Paser Utara.

Pada tanggal 17 Juli 2007, DPR RI sepakat menyetujui berdirinya Tana Tidung sebagai kabupaten baru di Kalimantan Timur, maka jumlah keseluruhan kabupaten/kota di Kalimantan Timur menjadi 14.


Kabupaten dan Kota

No. Kabupaten/Kota Ibu kota
1 Kabupaten Berau/ Tanjungredep
2 Kabupaten Bulungan/ Tanjungselor
3 Kabupaten Kutai Barat/ Sendawar
4 Kabupaten Kutai Kartanegara/ Tenggarong
5 Kabupaten Kutai Timur/ Sangatta
6 Kabupaten Malinau/ Malinau
7 Kabupaten Nunukan/ Nunukan
8 Kabupaten Paser/ Tanah Grogot
9 Kabupaten Penajam Paser Utara/ Penajam
10 Kabupaten Tana Tidung/ Tideng Pale
11 Kota Balikpapan -
12 Kota Bontang -
13 Kota Samarinda -
14 Kota Tarakan -


Catatan:

Koordinat : 113°44' - 119°00' BT
4°24' LU - 2°25' LS
Dasar hukum : UU No. 25 Tahun 1956
Tanggal penting : 1 Januari 1957
Ibu kota : Samarinda
Gubernur : Awang Faroek Ishak
Luas : 245.237,80[1] km²
Penduduk : 2.750.369[1] jiwa (2004)
Kepadatan : 11,22[1] jiwa/km²
Kabupaten : 10
Kota : 4
Kecamatan : 122[2]
Kelurahan/Desa : 191 / 1.347[2]
Suku : Jawa Transmigran (29,55%), Bugis Transmigran (18,26%), Banjar (13,94%), Dayak (9,91%) dan Kutai (9,21%) dan suku lainnya 19,13%.[3]
Agama : Islam (85,2%), Kristen (Protestan & Katolik) (13,9%), Hindu (0,19%), dan Budha (0,62%) (2000)
Bahasa : Bahasa Indonesia, Banjar, Dayak, Kutai
Zona waktu : WITA (UTC+8)
Lagu daerah : Indung-Indung, Buah Bolok, Lamin Talunsur


Sumber :

http://id.wikipedia.org/wiki/Kalimantan_Timur


Peta Kaltim


View Larger Map

Akankah Prov Kalimantan Utara Terbentuk?

WILAYAH Kalimantan Utara selama ini sangat identik dengan kawasan Sabah dan Sarawak yang merupakan wilayah negara bagian di Malaysia. Karena itu, di dalam peta Indonesia, wilayah tersebut selalu diberi warna putih. Namun, sebutan Kalimantan Utara tampaknya akan segera dikoreksi jika keinginan sejumlah pemerintah daerah, yakni Pemerintah Kabupaten Nunukan, Kabupaten Bulungan, Kabupaten Malinau, dan Kota Tarakan, yang sepakat untuk memisahkan diri dari Provinsi Kalimantan Timur, terpenuhi. Mereka ingin membentuk Provinsi Kalimantan Utara yang tentu tidak berada dalam wilayah “putih” peta sekarang.

KESEPAKATAN ini bukan semata-mata kehendak bupati atau wali kota, tetapi sudah disepakati dewan perwakilan rakyat di masing-masing daerah. Bahkan, dalam pertemuan dengan DPRD Provinsi Kalimantan Timur di Samarinda, kehendak untuk membentuk Provinsi Kalimantan Utara kembali ditegaskan para bupati dan wali kota.

Kehendak untuk memisahkan diri ini tentu saja mengundang pertanyaan sejumlah pihak. Maklum saja, selama bergabung dengan Provinsi Kalimantan Timur, keempat kabupaten dan kota tersebut mendapat kucuran dana perimbangan yang sangat besar karena Kalimantan Timur merupakan salah satu daerah penghasil minyak dan gas (migas) terbesar di Tanah Air.

Setiap kabupaten dan kota mendapat dana bagi hasil migas di atas Rp 200 miliar per tahun, belum lagi dana reboisasi dan dana alokasi khusus. Tidak heran jika Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) keempat kabupaten dan kota tersebut relatif besar jika dibandingkan dengan APBD daerah lain di luar Kalimantan Timur.

Kabupaten Nunukan yang jumlah penduduknya hanya sekitar 95.000 jiwa, misalnya, besarnya APBD 2004 lebih dari Rp 300 miliar. Kabupaten Bulungan yang jumlah penduduknya sekitar 96.000 orang memiliki APBD di atas Rp 500 miliar atau lebih besar daripada APBD Provinsi Kalimantan Barat.

Begitu pun Kabupaten Malinau yang penduduknya hanya sekitar 46.000 jiwa memiliki APBD di atas Rp 320 miliar, sedangkan Kota Tarakan memiliki APBD Rp 350 miliar yang sebagian besar berasal dari dana bagi hasil daerah penghasil migas serta dana perimbangan lainnya.

Jika memisahkan diri, dana bagi hasil migas tentu saja tidak akan diterima lagi. Otomatis, APBD akan menurun karena pendapatan asli daerah (PAD) masing-masing kota dan kabupaten tersebut relatif kecil jika dibandingkan dengan besarnya APBD.

“Jika perhitungannya cuma soal uang, dalam jangka pendek kami memang mengalami kerugian karena kami kehilangan salah satu sumber pendapatan daerah. Namun, bukan itu yang menjadi pertimbangan kami untuk membentuk Provinsi Kalimantan Utara,” kata Thamrin AD, Wakil Wali Kota Tarakan.

LEPASNYA Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan di Kabupaten Nunukan ke tangan Malaysia menjadi pengalaman pahit bagi Pemerintah Indonesia maupun kabupaten dan kota di Provinsi Kalimantan Timur. Selain trauma atas peristiwa tersebut, pemerintah kabupaten dan kota di Kalimantan Timur tidak ingin peristiwa itu terulang kembali.

“Peristiwa itu menjadi pengalaman yang sangat pahit, baik dari segi politis maupun kehidupan berbangsa dan bernegara,” kata Thamrin.

Namun, pemerintah kabupaten dan kota juga menyadari bahwa tidak gampang mempertahankan dan mengawasi wilayah Kalimantan Timur yang luasnya 211.440 kilometer persegi, atau 1,5 kali Pulau Jawa, karena jumlah aparat sangat terbatas. Selain aparat yang terbatas, jumlah penduduknya juga sangat minim, hanya sekitar 2,7 juta jiwa, namun harus mempertahankan wilayah yang luasnya 1,5 kali Pulau Jawa!

Padahal, selain wilayah yang sangat luas, Provinsi Kalimantan Timur bagian utara memiliki ratusan pulau besar dan kecil yang lokasinya tersebar dan berbatasan langsung dengan Negara Bagian Sabah serta Sarawak, Malaysia. Kabupaten Nunukan memiliki luas wilayah 14.585 kilometer persegi atau sekitar 22 kali luas DKI Jakarta, tetapi hanya berpenduduk sekitar 95.000 jiwa.

Kabupaten ini pun memiliki puluhan pulau besar dan kecil yang lokasinya berjauhan serta sulit dijangkau. Beberapa pulau yang cukup besar, misalnya Pulau Nunukan seluas 21.450 hektar, Pulau Sebatik 20.975 hektar, Pulau Bukat dan Bulau Sinualan yang luasnya masing-masing sekitar 15.000 hektar, sudah berpenghuni. Namun, pulau-pulau lainnya masih kosong dan tidak aktivitas sama sekali sehingga rawan dari segi keamanan, serta bisa diklaim milik negara tetangga.

“Jika dibentuk Provinsi Kalimantan Utara, dengan sendirinya akan dibentuk kepolisian daerah sehingga pengawasannya pun menjadi lebih efektif. Inilah salah satu pertimbangan kami ingin membentuk Provinsi Kalimantan Utara, yakni untuk mempertahankan keutuhan wilayah Indonesia,” kata Thamrin.

Maklum saja, selain Kabupaten Nunukan, kabupaten lainnya seperti Bulungan memiliki persoalan yang sama. Kabupaten yang memiliki luas wilayah 18.010 kilometer persegi atau separuh luas Provinsi Jawa Tengah ini hanya berpenduduk 95.925 jiwa atau setara dengan jumlah penduduk satu kecamatan di Jawa.

Padahal, selain tidak seimbangnya antara luas wilayah dan jumlah penduduk, kondisi geografisnya juga sangat berat untuk ditaklukkan karena memiliki puluhan pulau besar dan kecil yang lokasinya tersebar. Empat kecamatan yang ada di Kabupaten Bulungan semuanya memiliki pulau yang luasnya bervariasi, seperti Pulau Mandul yang luasnya 31.575 hektar, Pulau Bengkudulis Besar 24.775 hektar, Pulau Mapat 14.500 hektar, Pulau Papa seluas 275 hektar, serta pulau lainnya yang sebagian besar tidak berpenghuni.

“Dari sisi keamanan wilayah, pulau-pulau ini menjadi rawan, sedangkan dari segi ekonomi, potensi pulau yang melimpah ini tidak bisa digarap optimal,” kata Bupati Bulungan, Anang Dachlan Djauhari.

LAIN lagi persoalan yang dihadapi Kabupaten Malinau. Kabupaten seluas 42.620 kilometer persegi-sama dengan luas Provinsi Jawa Barat digabung dengan Provinsi Banten-ini memiliki persoalan banyaknya daerah terisolasi. Meski wilayahnya sangat luas, penduduk kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Bulungan ini hanya 46.000 jiwa dan tersebar di 135 desa.

Kondisi ini masih ditambah lagi dengan topografi yang sebagian besar berupa pegunungan dengan ketinggian sekitar 1.500-3.000 meter di atas permukaan laut. Bahkan, lebih dari 20 gunung menjulang di Kabupaten Malinau, yakni Gunung Naga Paratu (2.910 meter), Gunung Makita (2.987 meter), dan gunung-gunung tinggi lainnya yang terutama menjulang di Kecamatan Mentarang dan berbatasan langsung dengan Sarawak.

“Untuk melakukan pembangunan di daerah-daerah tersebut sangat sulit karena medannya sangat berat, topografinya curam, dan masih dipisahkan sungai-sungai yang sangat lebar,” kata Bupati Malinau, Martin Billa.

Tidak kurang dari 24 sungai besar yang melintas dan terbentang di Kabupaten Malinau. Sungai Bahau, misalnya, panjangnya sekitar 622 kilometer atau sama dengan jarak Jakarta-Semarang, Sungai Kayan (576 kilometer), Sungai Pengenau (242 kilometer), serta sungai-sungai lain yang tidak gampang untuk dilintasi karena sangat curam.

“Kesulitan penduduk bertambah lagi jika harus berhubungan dengan ibu kota provinsi di Samarinda, yang jaraknya lebih dari 1.000 kilometer. Karena itulah dengan pertimbangan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan, kami menghendaki dibentuknya provinsi baru yang diberi nama Provinsi Kalimantan Utara,” kata Martin Billa. “Provinsi ini merupakan gabungan dari beberapa kabupaten dan kota yang berada di Kalimantan Timur bagian utara,” ujarnya lebih lanjut.

Sejauh ini sudah empat kabupaten dan kota yang menyatakan sepakat dan akan bergabung dengan Provinsi Kalimantan Utara, yakni Kabupaten Malinau, Kabupaten Bulungan, Kabupaten Nunukan, serta Kota Tarakan. Kabupaten Berau, yang semula disebut-sebut akan bergabung, telah membatalkan niatnya.

“Kami mendukung pembentukan Provinsi Kalimantan Utara. Namun, sesuai dengan aspirasi masyarakat, kami akan tetap bergabung dengan Provinsi Kalimantan Timur,” kata Bupati Berau, Masdjuni.

KONSEKUENSI pembentukan Provinsi Kalimantan Utara secara ekonomis, APBD keempat kabupaten dan kota tersebut bisa menurun. Hal ini karena tidak ada sumber migas yang melimpah dan sudah dieksploitasi secara besar-besaran di keempat kabupaten dan kota tersebut.

Kondisi ini berbeda dengan Provinsi Kalimantan Timur. Sekarang ini Kabupaten Kutai Kartanegara, Kota Balikpapan, dan Kota Bontang merupakan sumber migas yang sudah dieksploitasi dan hasilnya melimpah. Begitu pun tambang emas sudah dieksploitasi di Kabupaten Kutai Barat. Tambang batu bara sudah dieksploitasi di Kabupaten Kutai Timur, Kabupaten Kutai Kartanegara, dan Kabupaten Berau.

Tidak heran, dengan melimpahnya hasil tambang ini, produk domestik regional bruto (PDRB) Kalimantan Timur lebih dari Rp 88 triliun dan disumbangkan untuk pendapatan nasional. Adapun dana yang kembali ke Provinsi Kalimantan Timur lebih dari Rp 8 triliun dan sebagian dibagikan kepada 13 kota dan kabupaten yang ada di Kalimantan Timur.

Dampak dari melimpahnya sumber daya alam ini, APBD sejumlah kabupaten dan kota di Kalimantan Timur juga sangat fantastis jika dibandingkan dengan APBD kabupaten atau kota lain di luar Kalimantan Timur. APBD Kabupaten Kutai Kartanegara, misalnya, sekitar Rp 2,7 triliun yang merupakan APBD terbesar untuk tingkat kabupaten di seluruh Tanah Air. APBD Kota Balikpapan dan Kota Samarinda sekitar Rp 500 miliar yang berarti sama dengan APBD Provinsi Kalimantan Barat, dan bahkan APBD Provinsi Kalimantan Timur yang berpenduduk hanya 2,7 juta jiwa, mencapai Rp 3 triliun.


Catatan:

Provinsi Kalimantan Utara akan meliputi lima daerah :

1. Kota Tarakan
2. Kab Bulungan
3. Kab Tana Tidung
4. Kab Malinau
5. Kab Nunukan

Sumber :
http://ryanalfiannoor.wordpress.com/2009/01/22/akankah-kalimantan-utara-terbentuk/
22 Januari 2009

Sejarah Kota Samarinda



Kota Samarinda adalah salah satu kota sekaligus merupakan ibu kota dari provinsi Kalimantan Timur, Indonesia. Berbatasan langsung dengan Kabupaten Kutai Kartanegara. Kota Samarinda dapat dicapai dengan perjalanan darat, laut dan udara. Dengan Sungai Mahakam yang membelah di tengah Kota Samarinda, yang menjadi "gerbang" menuju pedalaman Kalimantan Timur. Kota ini memiliki luas wilayah 718 km²[1] dan berpenduduk 579.933 jiwa (6 Februari 2004).


Sejarah

Awal mula berdirinya Samarinda

Perjanjian Bungaya

Pada saat pecah perang Gowa, pasukan Belanda di bawah Laksamana Speelman memimpin angkatan laut Kompeni menyerang Makassar dari laut, sedangkan Arung Palakka yang mendapat bantuan dari Belanda karena ingin melepaskan Bone dari penjajahan Sultan Hasanuddin (raja Gowa) menyerang dari daratan. Akhirnya Kerajaan Gowa dapat dikalahkan dan Sultan Hasanuddin terpaksa menandatangani perjanjian yang dikenal dengan Perjanjian Bungaya pada tanggal 18 November 1667.


Kedatangan orang Bugis ke Kesultanan Kutai

Sebagian orang-orang Bugis Wajo dari kerajaan Gowa yang tidak mau tunduk dan patuh terhadap isi perjanjian Bongaja tersebut, mereka tetap meneruskan perjuangan dan perlawanan secara gerilya melawan Belanda dan ada pula yang hijrah ke pulau-pulau lainnya diantaranya ada yang hijrah ke daerah Kesultanan Kutai, yaitu rombongan yang dipimpin oleh Lamohang Daeng Mangkona (bergelar Pua Ado yang pertama). Kedatangan orang-orang Bugis Wajo dari Kerajaan Gowa itu diterima dengan baik oleh Sultan Kutai.

Atas kesepakatan dan perjanjian, oleh Raja Kutai rombongan tersebut diberikan lokasi sekitar kampung melantai, suatu daerah dataran rendah yang baik untuk usaha Pertanian, Perikanan dan Perdagangan. Sesuai dengan perjanjian bahwa orang-orang Bugis Wajo harus membantu segala kepentingan Raja Kutai, terutama didalam menghadapi musuh.

Semua rombongan tersebut memilih daerah sekitar muara Karang Mumus (daerah Selili seberang) tetapi daerah ini menimbulkan kesulitan didalam pelayaran karena daerah yang berarus putar (berulak) dengan banyak kotoran sungai. Selain itu dengan latar belakang gunung-gunung (Gunung Selili).


Rumah Rakit yang Sama Rendah

Sekitar tahun 1668, Sultan yang dipertuan Kerajaan Kutai memerintahkan Poea Adi bersama pengikutnya yang asal tanah Sulawesi membuka perkampungan di Tanah Rendah. Pembukaan perkampungan ini dimaksud Sultan Kutai, sebagai daerah pertahanan dari serangan bajak laut asal Pilipina yang sering melakukan perampokan di berbagai daerah pantai wilayah kerajaan Kutai Kartanegara. Selain itu, Sultan yang dikenal bijaksana ini memang bermaksud memberikan tempat bagi masyarakat Bugis yang mencari suaka ke Kutai akibat peperangan di daerah asal mereka. Perkampungan tersebut oleh Sultan Kutai diberi nama Sama Rendah. Nama ini tentunya bukan asal sebut. Sama Rendah dimaksudkan agar semua penduduk, baik asli maupun pendatang, berderajat sama. Tidak ada perbedaan antara orang Bugis, Kutai, Banjar dan suku lainnya.

Dengan rumah rakit yang berada di atas air, harus sama tinggi antara rumah satu dengan yang lainnya, melambangkan tidak ada perbedaan derajat apakah bangsawan atau tidak, semua "sama" derajatnya dengan lokasi yang berada di sekitar muara sungai yang berulak, dan di kiri kanan sungai daratan atau "rendah". Diperkirakan dari istilah inilah lokasi pemukiman baru tersebut dinamakan Samarenda atau lama-kelamaan ejaan Samarinda.

Sedang Poea Adi diberi gelar Panglima Sepangan Pantai. Ia bertanggungjawab terhadap keamanan rakyat dan kampung-kampung sekitar sampai ke bagian Muara Badak, Muara Pantuan dan sekitarnya. Keputusan sidang kerajaan membuka Desa Sama Rendah memang jitu. Sejak saat itu, keamanan di sepanjang pantai dan jalur Mahakam menjadi kondusif. Tidak ada lagi bajak laut yang berani beraksi. Dengan demikian, kapal-kapal dagang yang berlayar, baik dari Jawa maupun daerah lainnya bisa dengan aman memasuki Mahakam. Termasuk kapal-kapal pedagang Belanda dan Inggris. Mereka berlayar hingga ke pusat Kerajaan, di Tepian Pandan. Dengan demikian roda pemerintahan berjalan dengan baik serta kesejahteraan masyarakat menjadi meningkat.


Samarinda Seberang

Sejarah terbukanya sebuah kampung yang menjadi kota besar, dikutip dari buku berbahasa Belanda dengan judul “Geschiedenis van Indonesie“ karangan de Graaf. Buku yang diterbitkan NV.Uitg.W.V.Hoeve, Den Haag, tahun 1949 ini juga menceritakan keberadaan Kota Samarinda yang diawali pembukaan perkampungan di Samarinda Seberang yang dipimpin oleh Poea Adi. Belanda yang mengikat perjanjian dengan kesultanan Kutai kian lama kian bertumbuh. Bahkan, secara perlahan Belanda menguasai perekonomian di daerah ini. Untuk mengembangkan kegiatan perdagangannya, maka Belanda membuka perkampungan di Samarinda Seberang pada tahun 1730 atau 62 tahun setelah Poea Adi membangun Samarinda Seberang. Di situlah Belanda memusatkan perdagangannya.

Namun demikian, pembangunan Samarinda Seberang oleh Belanda juga atas ijin dari Sultan Kutai, mengingat kepentingan ekonomi dan pertahanan masyarakat di daerah tersebut. Apalagi, Belanda pada waktu itu juga menempatkan pasukan perangnya di daerah ini sehingga sangat menjamin keamanan bagi Kerajaan Kutai.

Samarinda berkembang terus dengan bertambahnya penduduk yang datang dari Jawa dan Sulawesi dalam kurun waku ratusan tahun. Bahkan sampai pada puncak kemerdekaan tahun 1945 hingga keruntuhan Orde Lama yang digantikan oleh Orde Baru, Samarinda terus ’disatroni’ pendatang dari luar Kaltim. Waktu itu Tahun 1966 adalah peralihan masa Orde Lama ke Orde Baru. Keadaan semuanya masih acak dan semberawut. Masalah keamanan rakyat memang terjamin dengan terbentuknya Hansip (Pertahanan Sipil) yang menggantikan OPR (Organisasi Pertahanan Rakyat). Hansip mendukung keberadaan Polisi dan TNI.

Kendati terbilang maju pada zamannya, perubahan signifikan Kota Samarinda dimulai ketika Walikota Kadrie Oening diangkat dan ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri dengan Surat Keputusan No.Pemda 7/ 67/14-239 tanggal 8 November 1967. Ia menggantikan Mayor Ngoedio yang kemudian bertugas sebagai pejabat tinggi pemerintahan Jawa Timur di Surabaya. Kotamadya Samarinda pada tahun 1950 terbagi tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Samarinda Ulu, Samarinda Ilir dan Samarinda Seberang. Luas wilayahnya saat itu hanya 167 km². Kemudian pada tahun 1960 wilayah Samarinda diperluas menjadi 2.727 km² meliputi daerah Kecamatan Palaran, Sanga-Sanga, Muara Jawa dan Samboja. Namun belakangan, kembali terjadi perubahan. Kota Samarinda hanya tinggal Kecamatan Palaran, Samarinda Seberang, Samarinda Ilir, dan Samarinda Ulu.


Penetapan hari jadi Kota Samarinda

Orang-orang Bugis Wajo ini bermukim di Samarinda pada permulaan tahun 1668 atau tepatnya pada bulan Januari 1668 yang dijadikan patokan untuk menetapkan hari jadi kota Samarinda. Telah ditetapkan pada peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Samarinda Nomor: 1 tahun 1988 tanggal 21 Januari 1988, pasal 1 berbunyi Hari Jadi Kota Samarinda ditetapkan pada tanggal 21 Januari 1668 M, bertepatan dengan tanggal 5 Sya'ban 1078 H penetapan ini dilaksanakan bertepatan dengan peringatan hari jadi kota Samarinda ke 320 pada tanggal 21 Januari 1980. 21 Januari 1668 / 5 Sya'ban 1070 Hijriyah : Kedatangan orang-orang suku Bugis Wajo mendirikan pemukiman di muara Karang Mumus.


Catatan :

Pada saat pecah perang Gowa, pasukan Belanda di bawah Laksamana Speelman memimpin angkatan laut menyerang Makasar dari laut, sedangkan Arupalaka yang membantu Belanda menyerang dari daratan. Akhirnya Kerajaan Gowa dapat dikalahkan dan Sultan Hasanudin terpaksa menandatangani perjanjian yang dikenal dengan " PERJANJIAN BONGAJA" pada tanggal 18 Nopember 1667.

Sebagian orang-orang Bugis Wajo dari kerajaan Gowa yang tidak mau tunduk dan patuh terhadap isi perjanjian Bongaja tersebut, mereka tetap meneruskan perjuangan dan perlawanan secara gerilya melawan Belanda dan ada pula yang hijrah ke pulau-pulau lainnya diantaranya ada yang hijrah ke daerah kerajaan Kutai, yaitu rombongan yang dipimpin oleh Lamohang Daeng Mangkona (bergelar Pua Ado yang pertama). Kedatangan orang-orang Bugis Wajo dari Kerajan Gowa itu diterima dengan baik oleh Sultan Kutai.

Atas kesepakatan dan perjanjian, oleh Raja Kutai rombongan tersebut diberikan lokasi sekitar kampung melantai, suatu daerah dataran rendah yang baik untuk usaha Pertanian, Perikanan dan Perdagangan. Sesuai dengan perjanjian bahwa orang-orang Bugis Wajo harus membantu segala kepentingan Raja Kutai, terutama didalam menghadapi musuh.

Semua rombongan tersebut memilih daerah sekitar muara Karang Mumus (daerah Selili seberang) tetapi daerah ini menimbulkan kesulitan didalam pelayaran karena daerah yang berarus putar (berulak) dengan banyak kotoran sungai. Selain itu dengan latar belakang gunung-gunung (Gunung Selili).

Dengan rumah rakit yang berada di atas air, harus sama tinggi antara rumah satu dengan yang lainnya, melambangkan tidak ada perbedaan derajat apakah bangsawan atau tidak, semua "sama" derajatnya dengan lokasi yang berada di sekitar muara sungai yang berulak, dan di kiri kanan sungai daratan atau "rendah". Diperkirakan dari istilah inilah lokasi pemukiman baru tersebut dinamakan SAMARENDA atau lama-kelamaan ejaan "SAMARINDA".

Orang-orang Bugis Wajo ini bermukim di Samarinda pada permulaan tahun 1668 atau tepatnya pada bulan Januari 1668 yang dijadikan patokan untuk menetapkan hari jadi kota Samarinda. Telah ditetapkan pada peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Samarinda Nomor: 1 tahun 1988 tanggal 21 Januari 1988, pasal 1 berbunyi "Hari Jadi Kota Samarinda ditetapkan pada tanggal 21 Januari 1668 M, bertepatan dengan tanggal 5 Sya'ban 1078 H" penetapan ini dilaksanakan bertepatan dengan peringatan hari jadi kota Samarinda ke 320 pada tanggal 21 Januari 1980.



Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Samarinda
http://www.samarinda.go.id/sejarah


Sumber Gambar :
http://denmasrul.com/wp-content/uploads/2008/04/pelabuhan-samarinda.jpg
http://www.bappeda.samarinda.go.id/images/statis/potret_02.jpg

Pariwisata Balikpapan



Penangkaran Buaya

Penangkaran Buaya ini terletak di Kelurahan Teritip dengan luas areal 5 ha. Jumlah buaya yang ada di penangkaran iniberjumlah ± 3.000 ekor yang terdiri dari tiga macam jenis, yaitu Buaya Muara, Buaya Supit dan Buaya Air Tawar.Tempat ini terbuka untuk umum setiap hari dari pukul 08.00 - 17.00. Lokasi ini dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan roda dua atau empat, juga dengan kendaraan umum yaitu angkutan kota No. 7 dengan jarak ± 27 km dari pusat kota Balikpapan.


Meriam Peninggalan Jepang

Meriam peninggalan Tentara Jepang ini berada di kawasan Asrama Bukit, Kelurahan kampung Baru Ilir (sidodadi) dengan jarak ± 8 km dari pusat kota. Meriam ini menggambarkan bahwa balikpapan pada saat Perang Dunia II merupakan tempat yang startegis untuk pertahanan. tempat ini memiliki areal seluas 2.500 m2. Dari tempat ini dapat dilihat pemandangan kota Balikpapan, Kilnag Minyak dan teluk Balikpapan. Lokasi ini dapat dicapai dengan menggunakan angkutan kota No. 5 dan No. 6.


Kilang Minyak Balikpapan

Kilang minyak Balikpapan terletak di tepi Teluk Balikpapan, meliputi areal seluas 2.5 km2 . Kilang ini terdiri dari unit Kilang Balikpapan 1 dan unit Kilang Balikpapan II. Kilang Balikpapan 1 dibangun sejak tahun 1922 dan dibangun kembali pada tahun 1948 dan mulai beroperasi tahun 1950. Sedangkan Kilang Balikpapan II dibangun tahun 1980 dan resmi beroperasi 1 Nopember 1983. Tugas Kilang Balikpapan mengolah minyak mentah menjadi produk-produk yang siap dipasarkan, yaitu BBM dan Non BBM. yang memenuhi kebutuhan dalam negeri khususnya kawasan Timur Indonesia. Lokasi kilang terletak di Jl. Minyak yang berhadapan langsung dengan teluk Balikpapan.


Monumen Perjuangan Rakyat

Monumen ini terletak di pusat kota tepatnya di Jl. Jenderal Sudirman persis didepan kantor Markas KODAM VI Tanjung Pura. Monumen ini menggambarkan perjuangan dan keberanian rakyat Indonesia dalam melawan bangsa penjajah.


Wanawisata KM 10

Taman ini terletak di Km. 10 Jl. Soekarno Hatta ± 15 menit naik kendaraan dari pusat kota Balikpapan. Tempat ini adalahtaman Arboretum yang dibangun oleh PT. Inhutani I Unit Balikpapan. Di dalam taman ini ditanam berbagai jenis pohon dan buah-buahan langka, juga terdapat penangkaran Rusa Sambar (Servus Unicolor) dan trek-trek (jalur) untuk berolahraga joging serta areal camping di alam terbuka dengan lingkungan yang asri. Taman wisata ini dibuka setiap hari dan dapat ditempuh dengan kendaraan roda dua ataupun roda empat, juga tersedia angkutan kota trayek nomor 8 dengan tarif Rp. 1.200,-


Taman Bakapai

Taman ini terletak di Jl. Jend. Sudirman di depan kantor PLN. Di tengah taman terdapat sebuah patung / monumen yang terbuat dari bahan stainles steel yang menggambarkan keluarnya semburan minyak dari perut bumi. Dari dalam patung tersebut air mancur yang pada malam hari didukung oleh pencahayaan yang sangat indah. Lokasi sangat cocok untuk bersantai bersama keluarga.


Hutan Lindung Sungai Wain

Hutang Lindung Sungai Wain merupakan salah satu hutan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat sebagai Hutan Lindung dengan luas areal 10.025 ha. Sungai Wain sepanjang 18.300 m dengan airnya yang jernih, di kiri kanannya terdapat deretan hutan bakau. Habitat binatang yang terdapat di Hutan Lindung Sungai Wain mulai dari ikan, kepiting, burung, kera, orang utan dan lain sebagainya. Pemanfaatan sungai ini juga sebagai sumber air bersih bagi Perumahan Pertamina dan Kilang Minyak yang ada di Kota Balikpapan.


Tugu Australia

Tugu yang terletak di Jl. Jend. Sudirman yang berdekatan dengan pantai Strand Banua Patra ini memiliki luas areal 725 m2 adalah sebuah tugu peringatan sebagai tanda kehormatan bagi Tentara Australia (pasukan Divisi VII Australia) yang gugur melawan Tentara Jepang. Tempat ini mudah dicapai dengan semua jenis kendaraan ataupun angkutan kota dengan nomor trayek 6 dan 3.
Pantai Manggar


Pantai Manggar Segarasari

Pantai dengan luas 13.000 m2 dengan air laut yang jernih, riak gelombang yang kecil serta pasir yang putih, merupakan tempat yang nyaman bagi mereka yang ingin bermain, berlayar maupun volley pantai. Tempat ini dibuka untuk umum mulai pukul 06.00 - 18.00, dapat dicapai dengan kendaraan pribadi maupun kendaraan umum nomor 7. Lokasi pantai ini berada di Kelurahan Manggar dan Teritip dengan jarak 9 km dari Bandara Sepinggan atau 22 km dari pusat kota Balikpapan.


Pantai Melawai

Pantai yang teletak di Jl. Jend. Sudirman dekat dengan Pulau Tukung, tempat dimana para pedagang menjual berbagai macam masakan - minuman yang nikmat dengan harga yang relatif murah. Pengunjung dapat duduk bersantai, bersantap diatas tikar sambil menikmati deburan ombak dan melihat kapal-kapal yang berlayar, lego jangkar maupun yang sedang menurunkan muatan di pelabuhan laut Semayang. Lokasi ini buka mulai pukul 17.00 - 20.30.


Taman Agro Wisata

Taman ini diresmikan pada tanggal 17 Desember 1997 oleh mantan Wakil Presiden RI Tri Sutrisno. Dengan areal seluas 100ha, terletak di Jl. Soekarno Hatta Km. 23. Di dalam taman ini pengunjung dapat menikmati jenis-jenis tanaman tropis. Disamping itu juga terdapat peristirahatan atau piknik dengan fasilitas antara lain : Rumah Panjang (Lamin) yang terbuka untuk berteduh dengan ornamen Dayak, tempat berkemah dengan pemandangan yang alami serta Play Ground. Tempat ini dibuka untuk umum setiap hari dan dapat dikunjungi dengan menggunakan kendaraan roda dua mapun roda empat, juga terdapat angkutan kota trayek No. 8 dengan tarif Rp. 2.500,-


Tugu Peringatan Jepang

Terletak di Kelurahan Lamaru ± 26 km dari pusat kota. Tugu ini dikelilingi oleh hutan dan perkebunan yang indah. Monumen yang terbuat dari batu dengan tulisan Kanki. Didirikan sebagai tanda penghormatan kepada Tentara Jepang yang gugur dalam perang Dunia II. Wisatawan Jepang secara rutin mengunjungi tempat ini pada saat-saat tertentu untuk melakukan penghormatan dengan ritual keagamaan.


Sumber :
http://www.kutaikartanegara.com/wisata/balikpapan.html


Sumber Gambar:
http://zoel2008.files.wordpress.com/2008/07/kilangpertamina1.jpg
http://pu.kaltimprov.go.id/admin/files/7178Baikpapn.JPG

Menengok Tarakan Tempo Dulu



Tarakan, pulau kecil penghasil minyak dilepas pantai timur Kalimantan, adalah salah satu pemicu perang pasifik yang terlupakan. Fakta sejarah ini terkubur oleh sudut pandang sejarah perang dunia kedua terutama perang pasifik yang mengalami ” Amerikanisasi “.

Sesungguhnya pada decade tahun 30an, jepang sebagai Negara industri baru di asia harus bersaing memperoleh sumber daya alam dengan Negara barat yang telah menjajah Asia pasifik selama berabad -abad.

Alhasil, Jepang harus mencari sumber alam terutama minyak diwilayah lain. Yang memungkinkan adalah minyak di kepulauan Indonesia ( Ketika itu bernama Hindia Belanda ), dan sumber minyak terdekat di Nusantara dari jepang adalah Tarakan. Secara geografispun tarakan sangat strategis karena menghubungkan jalur laut Australia -Filiphina – Timur Jauh.

Mengapa Tarakan ? Bukankah ada lapangan minyak Brunei, Cepu, Pangkalan Brandan ataupun Palembang ?

Jawabannya ada pada Amsterdam Effectenblad tahun 1932 yang berkomentar” Kualitas minyak bumi di Tarakan cukup baik, sehingga kapal – kapal besar boleh minyak dengan segera dan bisa dikasih masuk dalam tangki”. Menurut catatan pihak sekutu, sebelum perang dunia kedua, Tarakan menghasilkan 6 juta barel minyak setiap tahun .

Sejarahpun mencatat, tempat pertama dikepulauan Nusantara yang didarati jepang adalah tarakan. Sekitar 15.000 serdadu jepang mendarat di tarakan awal januari 1942 tanpa mendapat perlawanan berarti dari 2.000 prajurit belanda yang bertahan disana. Tarakanpun direbut dalam waktu tiga hari. Komandan militer belanda Letnan Kolonel De Waal, menyerah kapada jenderal Sakaguchi, yang memimpin bala tentara jepang.

Serangan ke tarakan membuka jalan untuk serbuan lanjutan kesumber minyak lainnya di Balikpapan, Tanjung, Pangkalan Brandan, Palembang, Cepu.

Tanggal 1 mei 1945, Tarakan kembali digempur dan dibumi hanguskan oleh serdadu sekutu yang berjumlah 2000.

Melawan 2000 prajurit Angkatan laut dan Angkatan darat jepang. Setelah pertempuran berdarah hingga dua bulan barulah Tarakan dapat direbut dari tangan jepang.
Tulisan ini bermaksud membuka sudut pandang baru tentang perang pasifik sekaligus mengingatkan nilai strategis wilayah – wilayah terluar kepulauan Indonesia yang maha kaya sumber daya alam.


SEJARAH MINYAK DI TARAKAN MULA 1897

Pulau Tarakan dalam pelajaran geografi di Indonesia dan di Belanda, itu dikenal sebagai ” Pulau Minyak “. Kini kegiatan pertambangan migas dimulai sejak zaman penjajahan belanda masih harus berlangsung walaupun produksinya sudah tidak besar lagi.

Bahkan pada perang dunia II, Jepang memilih tarakan sebagai pintu masuk pertama di Indonesia yang diduga kuat disamping karena letak geografisnya yang strategis, juga karena alasan sumber daya alam.

Kini masyarakat kota Tarakan maupun pendatang, dapat dengan mudah melihat menara atau telaga migas, tangki – tangki dan pompa angguk migas sebagai bukti bahwa Tarakan memang sebuah “pulau minyak “.

Sejarah perminyakan di Tarakan dimulai pada tahun 1897, Ketika BPM ( Batavia Petroleum Maatschappij ) sumber lain TPM ( Tarakan Petroleum Maatschappij ) melakukan pengeboran minyak di bagian tenggara pulau Tarakan.

Pada tahun 1941, produksi pertahun mencapai 4,58 juta barel minyak atau rata – rata produksi harian 12,550 BOPD ( Barrel Oil Per Day ). Tetapi menyelang masuknya tentara jepang ketarakan, produksi migas turun drastis bahkan berhenti lantaran semua fasilitas perminyakan dihancurkan.

Kemudian pada tahun 1945, Katanya hasil pengeboran dari sekitar 160 sumur minyak oleh jepang menghasilkan produksi 3,6 juta barel atau hamper mencapai sekitar 10.000 BOPD. Konstruksi menara ( Telaga ) peniggalan jepangbisa dibedakan dari peninggalan Belanda. Menara jepang berkaki tiga, sementara yang dibuat BPM berkaki empat.
Pengelolaan migas di Tarakan pasca kemerdekaan kemudian berturut – turut dipegang PN Pertamina sejak tahun 1965 – 1968, Redco 1968-1971, Tetaro 1971 – 1992 dan sejak tahun 1992 dikelola oleh PT.Expan Kalimantan.

Produksi minnyak awal mengalirnya secara natural, tetapi sejak tahun 1991 Umumnya migas di Tarakan sendiri sebagaimana cadangan sumber daya mineral umumnya, bisa dibedakan antara cadangan terbukti ( Proven Reserves ) Cadangan Sekira ( Probable Reserves ), Cadangan harapan (Possible Reserves ).

Berdasarkan perhitungan PT. Goetek Nusantara ( 2002 ) besarnya cadangan awal minyak bumi dikota Tarakan untuk katagori cadangan terbukti terkira adalah masing – masing 424,601 juta, 15,029 juta, 11,547 juta barel minyak. Sementara cadangan awal gas untuk katagori cadangan terbukti, kira – kira 308,6 milyar kubik, 84,5 BCFG. Jadi total cadangan gas adalah 119,2 BCFG.

Selain ditentukan oleh besarnya cadangan awal migas yang ada, harga jual dan teknologi juga sangat ditentukan oleh cadangan migas terambil yaitu produksi maksimum yang dapat diambil. Cadangan migas terambil merupakan perkalian dari recovery factor dengan cadangan migas di tempat. Kita tahu, bahwa sumber daya migas sebagai sumber daya tidak dapat diperbaharui suatu saat akan habis jika terus diproduksi tatapi dalam perhitungan kurun waktu tertentu, jumlah cadangan bisa bertambah dan berkurang. Tergantung dari ada tidaknya penemuan cadangan baru dari eksplorasi yang dilakukan , perkembangan nilai / harga jual migas dan teknologi.

Setelah minyak bumi ditemukan pada abad ke 18 oleh salah satu perusahaan minyak belanda, Tarakan menjadi primadona para pengusaha minyak dunia. Apalagi hasil minyak bumi Tarakan Kualitasnya termasuk yang terbaik di dunia dan menurut para sejarahwan minyak hasil perut bumi Tarakan tidak memerlukan proses yang banyak dan dapat langsung digunakan.

Perang dunia kedua, Tarakan memberi andil besar terutama diakibatkan hasil tambangnya minyak. Pertempuran besar – besaran terjadinya disini dan salah satu pemicu perang dunia pertama di kawasan Asia pasifik juga berasal dari kota minyak tarakan.Tarakan dengan kepiawaiannya mengatur kotanya paguntaka dengan sangat baik sehinnga tarakan menyulap kota yang kecil ini menjadi kota persinggahan yang dilengkapi sarana dan prasarana terbaik di kawasan utara Kalimantan timur, selain itu ditarakan menjadi andalan Indonesia penghasil minyak

bumi di pulau Kalimantan. Karena minyak bumi adalah sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui, maka masyarakat kota Tarakan khususnya dan Indonesia pada umumnya hams mulai menghemat, lama kelamaan kita akan mengalami krisis listrik karena sumber daya minyak bumi sudah habis.

Jadi pengelolaan sumber daya alam di Tarakan harus dilakukan dengan sebaik mungkin, agar kelak anak cucu kita akan menikmatinya. Karena warisan apa yang dapat kita berikan kalau sumber daya alamnya sudah habis ? Dan penghargaan demi penghargaan di berikan kepada kota berbentuk pulau ini sebagai bukti keberhasilan pembangunan.

Penghargaan itu adalah di tahun 2003, juara Government Awards dengan predikat Best of The Best ,lalu di tahun 2004 masuk 10 besar dalam bidang IT (Informasi Tekhnologi ). Tahun 2005 , mendapat penghargaan Pengelolaan kota terbaik, Otonomi Awads, Certifikat of Recognation oleh united nations words dari general ( ASEAN ) dan terahir tahun yang sama anugrah kepemudaan dari menpora.

Tujuh penghargaan ini, menampakkan dengan jelas prestasi pemerintah dalam mengelola kota yang bermoto BAIS. Dan Tarakan juga dijadikan contoh kota skala kecil yang dapat membangun dengan baik. Itu dikatakan Presiden Susilo Bambang Yudoyono beberapa waktu lalu saat datang ke Tarakan, Beliau salut dengan Pembangunan kota Tarakan yang berupaya menjadikannya sebagai New Singapore.

DAFTAR PUSTAKA.

Santoso, Iwan. 2004. Tarakan “PEARL HARBOR”Indonesia (1942-1945). PT Gramedia Pustaka Jakarta.
Berita, Tarakan.2003. Sejarah Minyak di Tarakan mulai 1897. Berita Tarakan.


Sumber :
Rusliana
http://massofa.wordpress.com/2008/06/23/menengok-tarakan-tempo-dulu/
23 Juni 2008


Sumber Gambar:

http://www.indomigas.com/wp-content/uploads/2010/01/Tarakan.pnghttps://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhrj1ohULJWATwBGl397fG_pbTv8I9MM2lKIs9GqiBSRmAVFn4jWUSQdmIvyOE1CXmFDpxtTmSDsWIBgoJEnQJ2oRzEPzdWGLssCTZHoESP4kiAy6hkCP4jJrV4XfCRBJ2EDmcunJoUcsjk/s320/wisataseosadau.gif

Kota Bontang


Dalam perjalanan sejarah, Bontang yang sebelumnya hanya merupakan perkampungan yang terletak di daerah aliran sungai, kemudian mengalami perubahan status, sehingga menjadi sebuah kota. Ini merupakan tuntutan dari wilayah yang majemuk dan terus berkembang.

Pada awalnya, sebagai kawasan permukiman, Bontang memiliki tata pemerintahan yang sangat sederhana. Semula hanya dipimpin oleh seorang yang dituakan, bergelar Petinggi di bawah naungan kekuasaan Sultan Kutai di Tenggarong. Nama-nama Petinggi Bontang tersebut adalah: Nenek H Tondeng, Muhammad Arsyad yang kemudian diberi gelar oleh Sultan Kutai sebagai Kapitan, Kideng, dan Haji Amir Baida alias Bedang.

Bontang terus berkembang sehingga pada 1952 ditetapkan menjadi sebuah kampong yang dipimpin Tetua Adat. Saat itu kepemimpinan terbagi dua: hal yang menyangkut pemerintahan ditangani oleh Kepala Kampung, sedangkan yang menyangkut adat-istiadat diatur oleh Tetua Adat

Jauh sebelum menjadi wilayah Kota Administratif, sejak 1920, Desa Bontang ditetapkan menjadi ibu kota kecamatan yang kala itu disebut Onder Distrik van Bontang, yang diperintah oleh seorang asisten wedana yang bergelar Kiyai.

Adapun Kyai yang pernah memerintah di Bontang dan masih lekatdalam ingatan sebagian penduduk adalah: Kiyai Anang Kempeng, Kiyai Hasan, Kiyai Aji Raden, Kiyai Anang Acil, Kiyai Menong, Kiyai Yaman, dan Kiyai Saleh.

Sebelum menjadi sebuah kota,status Bontang meningkat menjadi kecamatan , dibawah pimpinan seorang asisten wedana dalam Pemerintahan Sul­tan Aji Muhammad Parikesit, Sultan Kutai Kartanegara XIX (1921-1960), setelah ditetapkan Undang Undang No 27 Tahun 1959 tentang pembentukan Daerah Tk II di Kalimantan Timurdengan menghapus status Pemerintahan Swapraja.

Pada 21 Januari 1960, berdasarkan UU No 27 Tahun 1959 , dalam Sidang istimewa DPRD Istimewa Kutai, Kesultanan Kutai dihapuskan dan sebagai gantinya dibentuk Kabupaten Daerah Tk II Kutai yang meliputi 30 kecamatan. Salah satu kecamatan itu adalah Bontang yang berkedudukan di Bontang Baru, meliputi beberapa desa, yaitu Desa Bontang, Santan Ulu, Santan Ilir, Santan Tengah, Tanjung Laut, Sepaso, Tabayan Lembab, Tepian Langsat, dan Keraitan.

Bontang kemudian mengalami pertumbuhan yang pesat. Hal itu mulai terlihat pada 1975, yang disebabkan karena dijadikannya Bontang sebagai daerah industri. Pada 1974 berdiri PT Badak yang mengelola industri gas alam. Tiga tahun kemudian, 1977, menyusul berdirinya PT Pupuk Kaltim yang mengelola industri pupuk dan amoniak.

Dengan kemajuan yang begitu pesat karena adanya pembangunan sarana dan prasarana yang berskala nasional, bahkan internasional, Pemerintah Daerah mempertimbangkan peningkatan status Bontang dari Kecamatan menjadi Kota Administratif yaitu melalui Peraturan Pemerintah No 20 Tahun 1989. Dengan demikian dibentuklah wilayah kerja Pembantu Bupati Kepala Daerah Tk II Kutai Wilayah Pantai Kecamatan Bontang akhirnya diusulkan Gubernur Kaltim untuk ditingkatkan menjadi Kota Administratif (Kotif).

Pada 1989, dengan PP No. 22 Tahun 1988 Kecamatan Bontang disetujui menjadi Kota Admin-istratif dan diresmikan pada 1990 dengan membawahi Kecamatan Bontang Utara (terdiri dari Bontang Baru, Bontang Kuala, Belimbing, Lok Tuan) dan Selatan (Sekambing, Berbas Pantai, Berbas Tengah, Satimpo, dan Tanjung Laut). Pada 12 Oktober 1999, Kotif kemudian berubah menjadi Kota Otonom, berdasarkan Undang Undang No 47 Tahun 1999.

Guna melaksanakan tugas kepemerintahan saat itu ditunjuk Drs Ishak Karim sebagai Walikota Kotif Bontang yang pertama. Sebagai perkembangan dari Daerah Tk II Kabupaten Kutai, maka melalui UndangUndang No 47 Tahun 1999 tentang pemkatkan menjadi Kota Bontang. Sebagai pelaksana tugas ditunjuk Drs Fachmurniddin yang melaksanakan tugas kepemerintahan dan pelaksanaan persiapan pemilihan walikota definitif.

Sebelumnya juga telah dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bontang oleh Walikota melalui penetapan calon yang diajukan oleh masing-masing partai berdasarkan perolehan kursi pada Pemilu 1999. Setelah persyaratan anggota dewan terpenuhi, maka ditetapkan dan dilantik para anggota dewan yang terdiri dari 25 orang dengan ketua H Rusdin Abdau.

Walikota Bontang pertama dari pemilihan anggota dewan itu adalah dr H Andi Sofyan Hasdam, SpS dari Partai Golkar dan H Adam Malik sebagai Wakil Walikota yang berasal dari PPP. Mereka dilantik dan diambil sumpah jabatan pada 1 Maret 2000.


Sumber :
http://pilarborneo.com/

Sumber Gambar :
http://www.hydrocarbons-technology.com/projects/bontang/images/1-bontang.jpg